Penulis: Iyang Bahtiar
LEBAK, iNewsLebak.id - Kita sebagai umat Islam sering mendengar dua ungkapan kata tentang apa itu syariat dan apa itu fiqih. Ya, dua kata itu kerap selalu terucap pada berbagai perbincangan umum. Namun disisi lain dianggap bermakna sama, padahal jelas itu tujuannya beda. Disini diharap tak perlu verbalisme menyikapinya.
Pada dasarnya dua istilah diatas tidak bisa terpisahkan, karena keduanya sanga lah berkaitan. Ini bukan berarti hukum islamnya yang berbeda dalam melihat dialektika syariat dan fiqih. Karena yang selalu dipahami di Indonesia ini, kadang bentuk syariat, terkadang pula berupa fiqih. Apabila seseorang bicara hukum islam, maka harus ada kepastian tujuannya kemana.
Di sini jangan kita sampai salah persepsi, yang dicari apakah bentuk syariat, atau berbentuk fiqih. Hal ini bagi golongan muslimin dan muslimat, pada khususnya di Nusantara memahami makna kurang tepat, bahkan salah pandangan. Sebab, masih banyak yang mengatakan, syariat itu maksudnya fiqih, dan sebaliknya fiqih adalah syariat juga.
Melihat ungkapan diatas, karenanya mari kita buktikan berdasarkan definisi-definisi dua kata istilah tersebut. Syeikh as-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani mengatakan:
“Mendefinisikan, al-syariah sebagai efek perintah, atau undang-undang, yang memberikan pembebanan berupa ibadah, dan perjalanan untuk beragama. Sedangkan fiqih, adalah pengetahuan mengenai berbagai hukum syara praktis, yang digali dari dalil-dalil terperinci.” (Kitab At Ta'rifat, Hal. 125-166:255).
Nah dalam konteks tadi jelas berbeda antara syariat dan fiqih. Syariat, adalah hukum Allah dengan Rasulnya, sedangkan fiqih, berasal dari pemikiran manusia, itulah para ulama mujtahid muthlaq, hasil penggalian istinbath berdasarkan dalil-dalil al-Qur’an, as-Sunnah, ijma Ulama, dan Atsar Sahabat. Adapun cabangnya, seperti furu’iyah, ilmu arabiyah, nahwu, shorof, balaghah, ilmu qira'at, tafsir, nasikh mansukh, am dan khos.
Syariat sifatnya fundamental, cakupannya lebih luas lagi, termasuk aqidah dan akhlak juga tergolong ruang lingkup syariat. Kalau fiqih sikapnya instrumental, mengatur hukum perbuatan manusia, dengan terbatas.
Syariat mempunyai kebenaran absolute, atau berlaku abadi, sedang fiqih relatif bersifat dinamis. Syariat hanya satu, namun untuk soal fiqih modelnya lebih dari satu, tergantung dari madzhab fiqih mana meninjaunya.
Kebanyakan ulama Syafi’iyah berpendapat, fiqih ini, mencakup dua kepentingan. Pertama, pengetahuan hukum syara, berbagai kaitan, perbuatan dan ucapan orang mukallaf. Kedua, mengkaji hukum syara, yang terdapat dari kitab-kitab fiqih tersebut.
Demikian pula fiqih bisa diartikan khusus terhadap ilmu furu'iyah, baik perkara yang aneh-aneh, maupun tidak pernah terjadi sekalipun. Namun pada era ulama salafus sholihin fiqih adalah ilmu menuju akhirat, untuk mengetahui diri pribadi, rusaknya amal, kehinaan dunia, merindukan kenikmatan akhirat dan takut terhadap siksaan.
Abdullah bin Nuh bercerita dalam kitabnya. Rasulullah pernah bertanya kepada Sahabat.
“Kalian ingin tau siapa ahli fiqih yang sebenarnya, para Sahabat menjawab! Ya. Kata Rasulullah: yaitu, orang-orang yang tidak pernah memutuskan harapan manusia terhadap rahmat Allah, tidak menjadikan manusia aman dari makar Allah, tidak pernah menjadikan putus harapan pada Rauhillah dan tidak meninggalkan Al-Qur’an, walaupun menyukai yang lainnya.” (Majmu’ah Kitab Ihya Ulumuddin. Hal, 22-23).
Syariat terbagi-bagi, diantaranya wajib, sunnah, haram, makruh,dan mubah. Fiqih lah yang mengatur hukumnya, contoh, shalat, puasa, zakat, dan haji. Maka tidak setiap-tiap syariat itu fiqih, tapi fiqih itu jelas syariat. Namun bukan berarti maknanya sama. Fiqih tidak lepas dari empat faktor, ibadah, muamalah, munakahah dan jinayat. Diantaranya para Ulama ushul fiqih berpendapat syariat sebagai berikut:
Wajib, adalah merupakan perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala, namun apabila ditinggalkan, maka akan mendapatkan dosa. Seperti hukum yang wajib, shalat lima waktu, puasa bulan ramadhan, zakat, dan ibadah haji bagi yang mampu.
Sunnah, adalah perbuatan yang jika dikerjakan, maka akan mendapatkan pahala, namun bila ditinggalkan, maka tidak akan mendapatkan dosa. Sunah pun dibagi dua, sunnah muakkadah, dan ghairu muakkadah. Contohnya, shalat sunnah qabliyah atau ba’diyah, membaca al-Qur’an, dan puasa sunnah.
Ada istilah Haram, adalah sebaliknya dari wajib, merupakan perbuatan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala, namun bila dilakukan, maka akan mendapatkan dosa. Seperti melakukan judi slot, berzina, minum alkohol, obat-obatan terlarang, memakan barang yang haram, dan banyak yang lainnya.
Makruh, adalah perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan, jika ditinggalkan, maka akan mendapatkan pujian, bila dilanggar tidak akan berdosa.
Pun hukum Mubah, adalah suatu hal yang tidak memiliki kaitan dengan perintah dan larangan. Misalkan, karena tidak ada makanan lain lalu memakan daging babi, tapi hanya sebatas kebutuhan, jangan sampai berkelanjutan, atau dalam keadaan darurat. Adapun tentang fasid, dan batil insha Allah kita akan bahas di episode selanjutnya.
Sebagai kesimpulan dari penulis, bahwa yang dimaksud syariat itu aturan hukum Allah dan Rasulnya, sedangkan yang mengatur syariat tersebut, diantaranya adalah fiqih. Manakala keduanya dipegang erat-erat.
Artinya tidak cuma hanya pengakuan belaka. Tapi bila tidak dikerjakan atau diamalkan oleh individu masing-masing, tentu sangat merusak, karena harus menanggung konsekuensinya, wallahu'alam bishawabi.
Editor : U Suryana