get app
inews
Aa Text
Read Next : Warga Tanah Merah Menang Melawan PT Pertamina Patra Niaga, Simbol Keadilan Hadir Bagi Rakyat Lemah

Menata Ulang Pilar Keadilan Pemilu Momentum Revisi UU Pemilu

Sabtu, 07 Juni 2025 | 08:43 WIB
header img
Dr. Bachtiar, Pengajar HTN FH UNPAM dan Pemerhati Hukum Pemilu / foto: istimewa

Oleh: Dr. Bachtiar 

Pengajar HTN FH UNPAM dan Pemerhati Hukum Pemilu

SERANG, iNewsLebak.id – Revisi Undang-Undang Pemilu kembali menjadi wacana serius, tidak hanya di parlemen, tetapi juga menjadi diskursus hangat di kalangan penggiat pemilu, akademisi, dan masyarakat sipil. Berbagai usulan mengemuka, mulai dari perubahan sistem pemilu proporsional terbuka ke tertutup, hingga penguatan afirmasi keterwakilan Perempuan. Namun, satu aspek yang justru kerap luput dari sorotan publik adalah penataan kewenangan penanganan pelanggaran pemilu oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam konteks penguatan demokrasi elektoral, penataan ini bukan sekadar soal teknis kelembagaan, melainkan menyangkut otoritas negara dalam menjamin keadilan pemilu (electoral justice).

Dalam setiap pemilu, isu pelanggaran – baik administratif, etik, maupun pidana – bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan bentuk pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin terwujud jika pengawasan dijalankan secara efektif, independen, dan memiliki daya paksa hukum yang jelas. Sayangnya, struktur hukum dan desain kelembagaan yang ada saat ini sering kali menempatkan Bawaslu dalam posisi serba terbatas – memiliki mandat pengawasan, tetapi tidak cukup diberi otoritas untuk memastikan pelanggaran benar-benar ditindak. Maka revisi UU Pemilu bukan hanya momentum legislasi, tetapi juga peluang untuk merevitalisasi peran Bawaslu sebagai pengawal integritas demokrasi elektoral.

Lemah di Hulu, Buntu di Hilir

Selama ini, penanganan pelanggaran pemilu tersekat ke dalam tiga ranah hukum: administrasi, etik, dan pidana. Masing-masing memiliki mekanisme dan lembaga tersendiri. Namun dalam praktiknya, sekat tersebut justru menciptakan fragmentasi yang melemahkan efektivitas penegakan hukum pemilu. Bawaslu yang semestinya menjadi aktor sentral dalam pengawasan, kerap terjebak dalam relasi koordinatif yang timpang.

Khusus untuk pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu harus melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), bersama Kepolisian dan Kejaksaan. Sayangnya, banyak kasus berhenti di meja koordinasi karena perbedaan tafsir hukum, kurangnya keberanian politis, atau alasan prosedural. Bawaslu hanya diberi hak untuk “mengajukan” dan “berkoordinasi”, bukan “memutuskan” dan “menjamin tindak lanjut”. Inilah salah satu titik lemah utama pengawasan pemilu.

Situasi ini menyebabkan proses penanganan pelanggaran menjadi stagnan di dua titik krusial: pertama, ketika terjadi tarik menarik interpretasi hukum antar lembaga; dan kedua, ketika ada kekosongan atau kelemahan keberanian institusional dalam menindak pelanggaran yang memiliki sensitivitas politik tinggi. Akibatnya, banyak pelanggaran yang nyata terjadi di lapangan – seperti politik uang, penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara, atau mobilisasi ASN – berakhir tanpa sanksi, bahkan sebelum mencapai tahap penyidikan.

Lebih jauh, ketergantungan Bawaslu pada lembaga lain dalam menangani pelanggaran pidana memperlemah posisi kelembagaannya. Tidak jarang, Bawaslu harus menahan diri atau bahkan mengalah pada tafsir dominan dari Kepolisian atau Kejaksaan yang menolak melanjutkan suatu laporan atau temuan. Hal ini tidak hanya menimbulkan ketimpangan dalam fungsi penegakan hukum, tetapi juga memperlemah persepsi publik terhadap independensi dan efektivitas Bawaslu.

Masalah lain yang tak kalah mendasar adalah posisi hukum rekomendasi Bawaslu yang lemah. Dalam berbagai kasus terutama pelanggaran administratif, Bawaslu hanya dapat memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sayangnya, rekomendasi ini tidak bersifat mengikat, karena KPU masih melakukan penilaian ulang terhadap pelanggaran yang direkomendasikan. Dengan demikian, implementasi sanksi menjadi sangat tergantung pada kehendak lembaga lain (KPU), yang secara hierarkis sejajar. Relasi ini menciptakan kekosongan kewenangan dan membuka ruang tarik menarik kepentingan, alih-alih penegakan keadilan pemilu.

Kondisi serupa terjadi dalam penanganan dugaan pelanggaran netralitas ASN. Bawaslu hanya berwenang meneruskan hasil pengawasan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tidak ada kewenangan langsung untuk menjatuhkan sanksi. Bahkan setelah diteruskan, proses penindakannya bergantung penuh pada komitmen dan political will Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Alhasil, pelanggaran netralitas yang jelas-jelas terjadi di lapangan kerap menguap begitu saja, tanpa ada kepastian sanksi yang menimbulkan efek jera.

Model seperti ini menempatkan Bawaslu dalam posisi lemah secara struktural dan politis. Bawaslu memiliki beban untuk mengawasi, tetapi tidak dibekali alat yang memadai untuk memastikan tindak lanjut. Dengan desain seperti ini, Bawaslu secara kelembagaan lemah di hulu – karena tidak memiliki kewenangan penuh untuk menentukan bahwa suatu perbuatan adalah pelanggaran pemilu – dan buntu di hilir – karena tak memiliki kontrol terhadap hasil akhir penegakan hukumnya.

Jika situasi ini terus dipertahankan, maka pengawasan pemilu akan kehilangan daya gigitnya dan berubah menjadi administrasi pelaporan pelanggaran semata. Oleh karena itu, penataan kewenangan dalam revisi UU Pemilu seharusnya diarahkan untuk membongkar sekat sektoral yang menghambat, serta memberikan porsi kewenangan yang proporsional kepada penegak integritas elektoral.

Menata Ulang Wewenang Bawaslu

Revisi UU Pemilu harus dimaknai lebih dari sekadar perbaikan sistem pemungutan suara atau penguatan afirmasi representasi. Ini adalah momentum penting untuk melakukan koreksi terhadap desain kelembagaan pengawasan pemilu. Salah satu koreksi mendasar yang perlu dan mendesak untuk dilakukan adalah mengubah pendekatan “koordinatif” yang selama ini membelenggu kewenangan Bawaslu, menjadi pendekatan “otoritatif terbatas”.

Dalam pendekatan ini, Bawaslu tidak lantas menjadi lembaga superbodi, tetapi diberikan kewenangan hukum yang tegas dan proporsional untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan memenuhi unsur pelanggaran pemilu pada tahap awal (first legal screening). Pernyataan ini bersifat mengikat secara hukum bagi mitra penegakan hukum pemilu – seperti Polri dan Kejaksaan – sehingga mencegah mandeknya proses di tahap koordinasi. Hal ini penting untuk menjamin efektivitas penegakan hukum, sekaligus menjaga marwah institusi pengawasan yang selama ini sering dipandang hanya sebagai “pengamat dengan seragam”.

Lebih jauh, untuk jenis pelanggaran administratif yang berdampak langsung terhadap kualitas dan integritas hasil pemilu – seperti penyalahgunaan jabatan, penyalahgunaan fasilitas negara, keberpihakan aparatur, dan manipulasi hasil suara – Bawaslu harus memiliki wewenang untuk menyelesaikannya secara cepat dan final, serta berwenang menjatuhkan sanksi, termasuk pembatalan pencalonan atau diskualifikasi peserta pemilu. Ini bukan soal memperbesar kuasa lembaga, melainkan memastikan bahwa pengawasan bukan sekadar ritual prosedural, melainkan instrumen hukum substantif untuk menjaga keadilan pemilu. Pengawasan pemilu tidak lagi berhenti sebagai catatan moral atau deretan putusan dan rekomendasi pasif, tetapi menjadi alat intervensi hukum yang nyata, progresif, dan menjamin keadilan pemilu.

Konsep penguatan kewenangan ini juga sejalan dengan prinsip rule of law dalam pemilu yang demokratis. Jika pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif tidak dapat ditindak dengan efektif hanya karena tumpang tindih kewenangan atau ketidaktegasan prosedur, maka legitimasi hasil pemilu akan selalu menjadi persoalan. Demokrasi prosedural harus dibarengi dengan ketegasan substansi. Dalam hal ini, Bawaslu harus menjadi garda depan, bukan sekadar petugas dokumentasi pelanggaran.

Oleh karena itu, revisi UU Pemilu harus berani mendesain ulang kerangka kelembagaan yang selama ini memperlakukan Bawaslu sebagai pelengkap administratif semata. Posisi Bawaslu saat ini cenderung dipinggirkan ke ranah pendamping, bukan pengambil keputusan strategis. Padahal, dalam sistem pemilu yang demokratis dan kompetitif, keberadaan lembaga pengawas seharusnya tidak hanya difungsikan sebagai “mata” atau “telinga” demokrasi, melainkan juga sebagai tangan yang bisa bertindak tegas ketika norma dilanggar.

Penguatan fungsi ajudikasi administratif menjadi kebutuhan mendesak. Bawaslu harus diberi mandat untuk secara final dan mengikat menyelesaikan pelanggaran administratif tertentu yang bersifat langsung dan berdampak nyata terhadap integritas pemilu, tanpa harus tergantung pada penilaian ulang oleh lembaga lain. Contohnya, politik uang, kampanye di luar jadwal, dan pelibatan aparat negara seharusnya cukup diproses melalui keputusan atau putusan Bawaslu yang final untuk efektivitas dan kepastian hukum. Dengan demikian, proses hukum tidak terjebak dalam birokrasi ganda yang berlarut-larut.

Wewenang dalam validasi awal unsur pelanggaran juga harus diperkuat, sebab posisi hukum Bawaslu saat ini hanya memberi penilaian awal yang tidak bersifat final dan mengikat, sehingga mudah diabaikan oleh lembaga eksekutor lain yang memiliki tafsir atau kepentingan berbeda. Inilah yang menjadi akar dari fragmentasi penegakan hukum pemilu dan melemahnya daya intervensi Bawaslu terhadap pelanggaran serius. Validasi ini penting untuk menghindari tumpang tindih tafsir dan mencegah stagnasi penanganan perkara karena tarik menarik antar-instansi penegak hukum.

Oleh sebab itu, dalam konteks revisi UU Pemilu, penguatan otoritas validasi awal harus diarahkan untuk: (i) memberikan status keputusan awal yang mengikat secara hukum bagi institusi lain dalam sistem penegakan pelanggaran pemilu (setidaknya setara dengan penilaian hukum Kejaksaan dalam tahap pra-penuntutan); dan (ii) menjamin bahwa putusan atau rekomendasi Bawaslu atas pelanggaran administrasi maupun etik tidak hanya dipertimbangkan, tetapi dianggap sebagai dasar tindakan wajib oleh lembaga terkait, kecuali dibuktikan sebaliknya melalui mekanisme keberatan atau koreksi formal.

Di sinilah pentingnya perubahan paradigma: validasi awal atas unsur pelanggaran oleh Bawaslu harus bersifat otoritatif terbatas, yakni cukup kuat untuk menjadi dasar wajib bagi instansi lain menindaklanjuti proses hukum, kecuali ada proses keberatan atau koreksi formal. Pendekatan ini tidak serta-merta menjadikan Bawaslu sebagai lembaga pemutus akhir, tetapi memperkuatnya sebagai pemantik yang sah dalam sistem penegakan hukum pemilu.

Selain itu, mekanisme eksekusi yang lebih ringkas dan mengikat harus menjadi bagian integral dari desain kelembagaan baru. Hal ini termasuk penataan kewenangan untuk mengeksekusi pelanggaran netralitas ASN, misalnya dengan membuka opsi pemberian sanksi etik langsung, atau memperkuat status rekomendasi Bawaslu agar tidak lagi bersifat “sekadar diteruskan” melainkan memiliki kekuatan hukum yang wajib ditindaklanjuti oleh instansi terkait. Kelemahan pada tahap eksekusi selama ini menyebabkan Bawaslu menjadi lembaga yang sekadar memberi peringatan moral, bukan institusi pengendali integritas pemilu yang seharusnya.

Menjawab Tantangan Elektoral Masa Depan

Dalam desain kelembagaan pemilu, Bawaslu kerap dipersepsikan sebagai “wasit yang tidak punya peluit”. Ini tak hanya menurunkan kepercayaan publik, tetapi juga memperkuat sikap permisif terhadap pelanggaran. Padahal demokrasi tidak cukup dijaga dengan penyelenggara yang netral, tetapi juga menuntut pengawas yang kuat, berani, dan didukung kerangka hukum yang fungsional.

Pemilu 2024 telah memperlihatkan bahwa tantangan pengawasan kian kompleks – politik uang makin canggih, netralitas ASN makin cair, dan penyalahgunaan kekuasaan makin subtil. Tanpa reformulasi kewenangan Bawaslu, demokrasi elektoral kita akan terus berada di bawah bayang-bayang “kemenangan prosedur atas substansi”.

Penguatan kewenangan bukan berarti lepas dari kontrol. Justru dengan kewenangan yang terdefinisi jelas, sistem akuntabilitas Bawaslu akan semakin tegas; mana yang dapat diselesaikan sendiri, mana yang harus diserahkan ke lembaga lain, dan mana yang dapat dikontrol publik secara terbuka.

Demokrasi tanpa pengawasan yang kuat hanyalah prosedur kosong. Revisi UU Pemilu jangan hanya bicara tentang metode pencoblosan atau penghitungan suara, tetapi juga tentang bagaimana menjamin pelanggaran tidak menjadi norma, dan pengawasan bukan sekedar seremoni. Jika bangsa ini serius ingin membangun pemilu yang berintegritas, maka sudah waktunya kita menempatkan Bawaslu sebagai pilar utama dalam arsitektur keadilan pemilu.

Jika demokrasi elektoral ingin diperkuat, maka negara tidak bisa terus-menerus menjadikan Bawaslu sebagai penonton prosedur hukum yang melelahkan. Saatnya menjadikan Bawaslu sebagai penggerak utama pengawasan yang memiliki daya paksa hukum. Dan itu hanya mungkin jika UU Pemilu yang baru benar-benar berpihak pada fungsi pengawasan yang kuat, tegas, dan berwibawa.

Editor : U Suryana

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut