LEBAK, iNewsLebak.id - Belakangan sempat viral pergunjingan soal Isu belasan Paskibraka tahun 2024 yang tadinya berjilbab saat jadi paskibraka tak memakai jilbab lagi. Isu itu sempat jadi opini publik di tanah air, entah apa sebenarnya alasan dibalik semua itu. Ya, kendati ada satu wilayah di NKRI ini yang ketat menerapkan syariat Islam, yakni Provinsi Nanggroe Aceh.
Bentuk pelarangan berjilbab bagi muslimat yang sudah Istikomah memakainya adalah perbuatan diskriminasi yang termasuk juga kontra aturan Sara (Suku, adat, ras dan antar golongan). Termasuk pada sikap seorang wanita Islam untuk memakai jilbab atau tidak itu hak asasi yang harus dilindungi, walaupun pembinaan penyadaran agama padanya tetap berlaku.
Kita tahu sejak tempo dulu tradisi memakai penutup kepala seperti kain selendang (tiung) pada ibu-ibu Nusantara sudah sejak zaman pra kemerdekaan sudah ada. Dan hingga pada perjalanan ke sini aturan syariat Islam ini sangat lentur diberikan oleh negara. Pada 1991 di zaman Presiden Soeharto, mulai ada kebebasan pada setiap sekolah umum termasuk sekolah milik pemerintah untuk boleh memakai jilbab bagi perempuan.
Dan pada 1999, Pemerintah juga memberi kewenangan kepada masyarakat Aceh untuk menerapkan hukum Agama secara syariat Islam, melalui Undang-undang No. 44 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001. Ini menjadi salah satu hadiah dari pemerintah pusat untuk peredaman konflik Aceh yang berlangsung lebih dari tiga dekade.
Syariat Islam setelah dilegalkan di Wilayah Aceh dari tahun tahun 1999 sampai tahun 2012, ternyata berefek pula pada tindakan mengatasnamakan syariat Islam berjalan dimana-mana dan sendiri-sendiri, seolah-olah tidak ada mekanisme. Ya, memang awalnya banyak yang merasa ketakutan pada masyarakat atas pelaksanaan hukum syariat Islam tersebut, terutama kelompok perempuan yang belum mau menyesuaikan pakaiannya dengan ketentuan syariat Islam.
Saat itu beberapa kalangan perempuan merasa terkungkung karena banyaknya sorotan, sementara banyak kaum laki-laki tak pernah dikritisi kendati terlihat aurat di tempat umum, seperti memakai celana pendek, tidak pakai baju kelihatan pusar dalan lain-lain. Dan juga soal ke aripan lokal yang baik, seperti tradisi berpeci atau kopiah, sebagai salah satu ciri menjaga reputasi seorang laki-laki Nusantara.
Dan sal isu berjilbab itu pun amat paradoksal manakala tak sedahsyat isu (tidak berjilbab pada Paskibraka) jika dicontohkan pada perilaku meninggalkan shalat lima waktu, salat Jum’at, tidak berpuasa di bulan ramadhan, berjudi di tempat terbuka sebagai sesuatu yang sudah lumrah dilanggar dan tak perlu heboh.
Di sini kita bisa simak betapa kaum perempuan seakan-akan hanya dijadikan objek atas pelaksanaan syariat. Hukum syariat yang kerap menjadikan perempuan sebagai target dengan narasi soal jilbab, pakaian ketat dan hal sejenisnya. Padahal itu salah satu bagian kecil menurut syariat Islam, dan sejatinya memang perempuan muslimat harus memakai jilbab.
Pertama memang berjilbab bagi kaum perempuan mukminat yang sudah haid itu harus dijadikan kesadaran sendiri, agar bisa menjadi pembeda antara perempuan yang beriman dan tidak, supaya bisa dikenali juga. Kedua agar terjaga muruah kewibawaan watak ke perempuannya. Karena jilbab bagi perempuan muslimat itu adalah konsep diri sekaligus alat pengenal.
Dan perlu diketahui berjilbab di Indonesia sudah dijamin legalitasnya oleh konstitusi Negara yang menjamin berjilbab salah satu tap MPR RI Nomor 2 tahun 1978 tentang P4. Tentang kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
Penulis : Iyang Bahtiar
Ketua PAC MDS Rijalul Ansor Malingping
Editor : U Suryana
Artikel Terkait