LEBAK, iNewsLebak.id – Meski menjadi surga bagi para nelayan pencari benur, namun ekologi laut Lebak Selatan tak cocok untuk melakukan budidaya lobster. Salah satunya di wilayah pesisir pantai Binuangeun, Wanasalam, Lebak, Banten.
Faktor ekologi tersebut mulai dari ombak laut yang masuk dalam lintas laut selatan yang besar, hingga kanibalisme pada benih lobster dewasa karena kawasan yang jarang memiliki barisan karang yang luas.
Berlakunya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7 Tahun 2024 dengan memperbolehkan pengelolaan benih bening lobster (BBL) dibudidayakan dan diekspor jadi angin segar para nelayan Binuangeun.
Keputusan pemerintah tersebut, memungkinkan para nelayan untuk membudidayakan BBL bahkan mengekspor, tentunya dengan regulasi yang telah diatur, dan dipastikan ini akan berdampak positif terhadap pendapatan ekonomi masyarakat pesisir.
Dibukanya keran eskpor BBL, membuat para nelayan semakin giat melakukan terobosan atau cara bagaimana mendapat hasil maksimal dalam mencari BBL. Salah satunya yang tengah dikembangkan yakni dengan alat tangkap ‘jodang tanam’.
Biasanya, metode umum cara melaut nelayan untuk menangkap benur. Yakni menggunakan dua cara, pertama dengan menanam jaring, kedua menggunakan obor yang biasa dipakai di malam hari.
Kedua cara tersebut, memiliki kesamaan dari kegunaan alat yaitu sama-sama menggunakan metode pencahayaan untuk menarik benur masuk dalam perangkap. Jaring tanam menggunakan baterai, kalau yang obor menggunakan genset.
Modifikasi jaring tanam yang tengah dikembangkan masyarakat pesisir Binuangeun, atau yang lebih dikenal dengan sebutan ‘jodang tanam’ tengah menjadi sorotan bahkan penolakan dari nelayan lainnya.
Pasalnya, metode ini dianggap bakal berpotensi mengganggu dan merusak alat tangkap lain, seperti jaring rampus, jaring gillnet, jaring lobster, dan jaring kantong. Hal ini ditegaskan oleh Wading, Ketua Paguyuban Nelayan Kabupaten Lebak.
“Mayoritas nelayan disini menolak alat tangkap jodang tanam, karena bakal merusak alat tangkap lain. Walaupun secara aturan, tidak ada aturan yang mengatur diperbolehkan atau tidak,” ungkapnya, Jumat (4/10/2024) siang.
Pro dan kontra mucul terhadap metode ‘jodang tanam’ ini. Mediasi pernah dilakukan antara kedua pihak di Balai Desa Muara, Wanasalam, pecan lalu. Namun, karena jumlah yang tak berimbang antara kedua pihak, mediasi pun deadlock.
Dalam wawancara singkat dengan Sekretaris Dinas Perikanan Kabupaten Lebak, Berdnardi, Jumat (4/10/2024) siang, Ia memastikan bahwa jodang tanam adalah produk modifikasi nelayan yang ramah lingkungan.
“Alat ini tidak merusak ekosistem laut, di wilayah lain juga telah menerapkan metode tangkap benur dengan alat ini. Namun, memang belum masuk dalam daftar alat tangkap yang diinvetarisir oleh kementerian,” ucap Berdnardi.
Terkait polemik pro dan kontra nelayan Binuangeun, Dinas Perikanan Kabupaten Lebak rencananya akan mengundang dua kelompok nelayan tersebut dalam jumlah yang berimbang.
“Kapasitas kami adalah pihak yang netral, oleh karenanya rencananya akan dilaksanakan di tempat yang netral juga. Kami akan undang DKP Banten, Polairud, TNI AL, serta stakeholder terkait lainnya,” terang Berdnardi.
Editor : Lazarus Sandy
Artikel Terkait