Stasiun Rangkasbitung: Saksi Seabad Perjalanan Warga Banten

LEBAK, iNewsLebak.id – Sekilas, Stasiun Rangkasbitung tampak seperti stasiun kereta biasa. Tetapi bila kita menengok ke masa lampau, mengamati struktur bangunan lama, jejak jalur percabangan, dan dokumen sejarah, stasiun ini menyimpan kisah panjang perkembangan perkeretaapian di Banten.
Awal Pembangunan dan Jejak Kolonial
Sejarah Stasiun Rangkasbitung dimulai pada akhir abad ke-19, ketika pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan kereta api Staatsspoorwegen membangun jalur Batavia (Jakarta) menuju Rangkasbitung. Jalur ini resmi beroperasi pada 1 Oktober 1899 bersamaan dengan pembukaan lintas Duri–Rangkasbitung.
Setahun kemudian, jalur diperpanjang hingga Serang dan berlanjut sampai Anyer Kidul. Pada 1914, dibuka pula jalur percabangan dari Krenceng menuju Merak yang menghubungkan kawasan industri dan pelabuhan. Bahkan, dari Rangkasbitung pernah ada jalur menuju Labuan yang dibangun pada 1906. Jalur tersebut sempat aktif selama puluhan tahun sebelum akhirnya ditutup.
Selama masa pendudukan Jepang, kawasan ini juga menjadi saksi sejarah pembangunan jalur Saketi–Bayah yang dikerjakan dengan sistem kerja paksa atau romusha.
Pusat Mobilitas Warga
Bagi masyarakat Banten, Stasiun Rangkasbitung bukan hanya tempat naik turun penumpang. Dulu, stasiun ini menjadi pusat aktivitas ekonomi daerah. Di sebelah selatan stasiun terdapat jalur khusus angkutan minyak kelapa dan pabrik pengolahannya. Selama beberapa dekade, stasiun ini menjadi penghubung antara wilayah pedalaman dan kota, membawa hasil bumi dan komoditas ke pasar-pasar besar.
Letaknya yang strategis di pusat kota membuat stasiun selalu ramai. Dari pagi hingga malam, aktivitas di sini menggambarkan dinamika kehidupan warga Rangkasbitung yang terus bergerak.
Transformasi & Penurunan Jalur Lama
Seiring perkembangan transportasi darat dan munculnya moda lain (bus, angkutan jalan), jalur-rute kereta yang dulunya ramai mulai mengalami penurunan.
Jalur Rangkasbitung–Labuan sempat aktif hingga sekitar tahun 1984, lalu ditutup karena kalah bersaing.
Era lokomotif uap resmi berakhir di Indonesia pada tahun 1984, dan depo lokomotif uap di Rangkasbitung dipensiunkan.
Dengan hadirnya KRL (Kereta Rel Listrik), jalur listrik antara Maja dan Rangkasbitung mulai dibangun sejak 2015, dan layanan KRL Tanah Abang–Rangkasbitung baru diresmikan 1 April 2017.
Sejak saat itu, kereta diesel penumpang antarkota yang dulu melayani segmen ini perlahan ditinggalkan.
Arsitektur & Cagar Budaya
Bangunan lama Stasiun Rangkasbitung kini ditetapkan sebagai cagar budaya. Gaya arsitekturnya mencerminkan karakter khas kolonial Belanda, dengan struktur tinggi dan jendela besar.
Stasiun ini memiliki delapan jalur aktif dengan peron sisi dan peron pulau. Sebelum jalur ganda Maja–Rangkasbitung beroperasi pada 2019, pengaturan relnya masih manual. Kini, pengelolaannya sudah modern dan efisien tanpa meninggalkan nilai sejarah.
Di sisi barat stasiun, berdiri jembatan rangka baja di atas Sungai Ciujung. Dulu, jembatan ini juga dilalui warga pejalan kaki, sebelum akhirnya diperbarui menjadi jalur khusus kereta yang lebih aman.
Pembangunan Stasiun Rangkasbitung terus berlanjut. Kini, proyek renovasi besar tengah dikerjakan untuk menjadikannya “Stasiun Ultimate” dengan fasilitas modern yang nyaman bagi pengguna KRL dan penumpang jarak jauh.
Editor : Imam Rachmawan