LEBAK, iNewsLebak.id - Suku Baduy yang terletak dipedalaman Banten, menjadi salah satu komunitas yang menarik perhatian banyak orang karena cara hidup mereka yang sangat sederhana dan penuh makna.
Suku Baduy juga terkenal dengan aturan ketat yang mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti larangan menggunakan barang-barang modern dan membatasi interaksi dengan dunia luar.
Mereka percaya bahwa menjaga jarak dari teknologi dan kenyamanan dunia modern adalah cara terbaik untuk mempertahankan keharmonisan dengan alam dan menjaga kebudayaan mereka tetap hidup. Di tengah perubahan zaman, Suku Baduy tetap teguh pada prinsip-prinsip ini, menjadikan mereka simbol dari ketahanan budaya dan hidup yang penuh makna.
Letak Keberadaan Suku Baduy
Dilansir dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Suku Baduy mendiami Desa Kanekes yang merupakan wilayah adat mereka. Secara administratif, Desa Kanekes terletak di Kemantren Cisimeut, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Desa ini berjarak sekitar 160 km dari Jakarta, dan sekitar 78 km dari kota Serang, pusat pemerintahan Provinsi Banten.
Dari pintu masuk Desa Kanekes, pusat Kecamatan Leuwidamar dapat dicapai sejauh 27 km, sementara pusat kota Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, berjarak sekitar 50 km.
Desa Kanekes terletak di kawasan Pegunungan Kendeng yang berbukit-bukit. Berdasarkan Perda Kabupaten Lebak Nomor 13 Tahun 1990, luas Desa Kanekes mencapai 5.101,85 hektar, yang mencakup lahan pertanian, permukiman, dan hutan lindung.
Mata Pencarian Suku Baduy
Ditengah modernisasi suku Baduy memiliki dua mata pencarian yaitu, mata pencaharian utama dan mata pencaharian tambahan atau sampingan. Mata pencaharian utama seluruh warga Baduy adalah bertani di lahan kering atau disebut ngahuma. Pekerjaan sampingan di Baduy Tangtu di antaranya menyadap nira dan membuat kerajinan anyaman atau rajutan.
Pekerjaan tambahan di wilayah Baduy Panamping cukup beragam, seperti memproduksi gula aren, menenun kain khas Baduy, membuat kerajinan anyaman atau rajutan, menjual makanan dan minuman ringan, benang, serta kain batik bermotif Baduy yang didatangkan dari Jakarta dan Majalaya. Selain itu, mereka juga menjual pakaian, madu, dan hasil kerajinan khas Baduy ke daerah lain. Bahkan, saat ini beberapa di antaranya mulai menjalani profesi sebagai pemandu wisata bagi para pengunjung yang datang ke Baduy.
Dalam hal tersebut dengan berkembangnya teknologi di era modernisasi ini, suku Baduy masih sangat kental menggunakan alat-alat sederhana dan kreativitas tangan yang memiliki nilai khas tersendiri.
Permukiman Masyarakat Baduy
Permukiman masyarakat Baduy berbentuk kampung atau lembur yang dibangun di sekitar sumber air seperti mata air, sungai, atau selokan. Dalam kampung, rumah-rumah panggung dikelompokkan secara teratur, dengan posisi rumah-rumah utama berada di tengah. Rumah-rumah ini biasanya berjejer saling berhadapan dengan jarak sekitar 2-3 meter, tanpa jendela, tetapi sinar matahari dan udara tetap dapat masuk melalui celah dinding.
Di pinggiran kampung terdapat saung lisung sebagai tempat menumbuk padi, tampian untuk mandi, dan lumbung padi atau leuit yang ditempatkan lebih jauh di luar area utama. Bagian tengah permukiman biasanya berupa area terbuka seperti lapangan atau halaman yang digunakan untuk bermain anak-anak, menjemur pakaian, benang, atau untuk berbagai aktivitas lainnya.
Kepercayaan Orang Baduy
Orang Baduy menganut agama Sunda Wiwitan, yang berlandaskan penghormatan kepada arwah nenek moyang (karuhun) dan kepercayaan kepada Batara Tunggal sebagai kekuatan tertinggi. Tempat pemujaan utama mereka adalah Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana di puncak gunung, yang merupakan situs peninggalan megalitik berupa bangunan bertingkat dengan menhir dan arca. Puun, sebagai keturunan Batara Panjala, dianggap wakil langsung karuhun dan memiliki wewenang tertinggi dalam agama Sunda Wiwitan. Ia juga memimpin berbagai upacara adat seperti kawalu, ngalaksa, seba, muja, dan tolak bala.
Editor : Imam Rachmawan
Artikel Terkait