Menyoal Dualistik Pengawasan

Oleh: Dr. Bachtiar
Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM – Pemerhati Kepemiluan
SERANG, iNewsLebak.id - Indonesia telah mengukir Sejarah panjang dalam demokratisasi elektoral sejak era reformasi. Pemilu dan Pilkada menjadi dua pilar utama yang menopang keberlangsungan sirkulasi kekuasaan secara sah dan konstitusional. Namun dibalik kemajian prosedural tersebut, masih mengendap persoalan mendasar yang belum terselesaikan, yakni soal dualism pengaturan dalam sistem pengawasan antara pemilu dan pilkada. Dalam praktiknya, kedua pilar tersebut tidak sepenuhnya berdiri kokoh dalam landasan hukum yang selaras. Padahal penyelenggaraan kedua jenis pemilihan ini semakin terintegrasi, baik dari sisi manajemen kepemiluan, penggunaan teknologi, hingga pengawasan dan penegakan hukum.
Ketidaksinkronan antara UU Pemilu dan UU Pilkada telah menjadi batu sandungan yang menghambat kinerja pengawasan dan penegakan hukum pemilu, terutama bagi lembaga pengawas seperti Bawaslu. Perbedaan norma antara kedua undang-undang ini secara faktual telah menciptakan tumpang tindih, ketidaksinkronan, bahkan celah hukum yang berdampak langsung pada efektivitas pengawasan pemilu. Bagi Bawaslu, ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan menyentuh pada esensi mandat konstitusional dalam memastikan pemilu yang jujur dan adil, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Bukan Semata Soal Wewenang
Dirkursus publik dan akademik mengenai pengawasan pemilu dan pilkada kerap terjebak pada tataran formalistik tentang “siapa yang berwenang melakukan apa”. Pandangan ini menyederhanakan persoalan seolah problem inti hanya berkisar pada distribusi kewenangan kelembagaan. Padahal, akar permasalahan justru terletak pada ketidaksinambungan hukum dan fragmentasi desain normatif antara dua undang-undang yang menjadi pilar rezim demokrasi elektoral Indonesia, yakni UU Pemilu dan UU Pilkada.
Perbedaan orientasi, struktur, dan konsepsi pengawasan dalam kedua undang-undang tersebut telah melahirkan tafsir ganda terhadap struktur kelembagaan, pembagian fungsi, serta prosedur pengawasan di lapangan. Ketidakharmonisan ini disorientasi dalam pelaksanaan tugas pengawasan di tingkat daerah, karena satu lembaga – Bawaslu – dituntut untuk melaksanakan dua jenis tugas berdasarkan dua kerangka hukum yang tidak selalu selaras. Akibatnya, praktik pengawasan menjadi tidak seragam, rentan multitafsir, dan dalam banyak kasus justru menimbulkan kekosongan tindakan karena tidak adanya norma eksplisit yang mengatur atau normanya bersifat ambigu.
Dalam konteks UU Pemilu, Bawaslu ditegaskan sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, dengan mandat yang mencakup seluruh aspek pengawasan elektoral. Bawaslu tidak hanya mengawasi tahapan pemilu, tetapi juga menangani pelanggaran administratif dan pidana, serta menyelesaikan sengketa proses. Bahkan Bawaslu juga diberi kewenangan membentuk badan ad hoc hingga tingkat TPS sebagai perpanjangan fungsi pengawasan hingga ke level paling akar dari proses demokrasi. Ini mencerminkan desain sistem pengawasan yang integral, hirarkis, dan fungsional secara vertikal dan horizontal.
Namun dalam UU Pilkada, pengaturan mengenai posisi dan fungsi Bawaslu tidak diatur secara sejajar. Tidak terdapat norma eksplisit yang menegaskan bahwa mekanisme pengawasan pilkada tunduk pada sistem pengawasan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Beberapa ketentuan bahkan masih menggunakan istilah “Panwas” – sebuah nomenklatur warisan yang sevara fungsional dan institusional telah digantikan oleh Bawaslu. Meskipun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 48/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa yang dimaksud Panwas adalah Bawaslu, namun tidak adanya penyelesaian normatif dalam UU Pilkada tetap menyisakan ruang ketidakpastian hukum.
Inkoherensi ini tidak hanya berimplikasi pada problem nomenklatur, tetapi berdampak langsung terhadap legitimasi tindakan hukum Bawaslu. Sebagai contoh, ketika pengawas pemilu di daerah menangani dugaan pelanggaran atau menyelesaikan sengketa pencalonan dalam pilkada, tidak jarang keputusannya dipersoalkan karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Situasi ini menempatkan Bawaslu pada posisi dilematis – di satu sisi dituntut oleh publik untuk bertindak tegas dan profesional, namun di sisi lain tidak sepenuhnya dilindungi oleh kerangka hukum yang kohesif dan eksplisit.
Kondisi ini melahirkan dua konsekuensi serius. Pertama, ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan fungsi pengawasan menyebabkan pengawas pemilu enggan bertindak tegas karena khawatir berbenturan dengan Batasan normatif. Hal ini membuat pengawasan berjalan secara setengah hati, rentan diintervensi, dan kehilangan efektivitas. Kedua, peserta pilkada maupun pemilih kehilangan kepastian hukum yang setara dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Mereka berpotensi dirugikan oleh pelanggaran, namun tidak memperoleh perlindungan hukum maksimal akibat kekosongan atau kaburnya norma pengawasan.
Dalam jangka panjang, ketidakpastian ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap proses demokrasi lokal. Maka dari itu, problem pengawasan pemilu dan pilkada bukan semata persoalan tentang boleh tidaknya Bawaslu mengawasi, melainkan menyangkut legitimasi, efektivitas, dan integritas sistem hukum elektoral itu sendiri. Jika dibiarkan fragmentasi normatif ini akan terus menciptakan ruang “abu-abu hukum” yang mengganggu konsistensi demokrasi dan menghambat Pembangunan sistem pengawasan pemilu yang kuat, transparan, dan akuntabel.
Dualisme Pengawasan
Dualisme pengawasan antara pemilu dan pilkada tidak dapat dipandang semata sebagai persoalan teknis administratif atau tata kerja kelembagaan. Fenomena ini mencerminkan kegagalan yang lebih fundamental, yakni ketidakmampuan membangun sistem hukum pemilu yang konsisten, terintegrasi, dan berkesinambungan. Ketimpangan dalam pengaturan pengawasan antara pemilu dan pilkada menandakan persoalan structural dalam desain tata kelola demokrasi elektoral Indonesia.
Secara teoritik, pemilu dan pilkada memang memiliki perbedaan dari sisi ruang lingkup, skala, dan rezim hukum yang melandasi pelaksanaannya. Namun demikian, keduanya merupakan instrumen konstitusional yang sama-sama bertujuan memilih pemimpin publik melalui mekanisme kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, dari sudut pandang tata kelola demokrasi yang utuh, semestinya tidak ada dikotomi dalam standar integritas, prinsip pengawasan, maupun desain kelembagaan antara pemilu dan pilkada. Keduanya idealnya berada dalam satu kerangka sistem pengawasan yang seragam dan saling melengkapi.
Namun realitas normatif menunjukkan sebaliknya. Rezim hukum memperlakukan pilkada seolah entitas otonom yang terpisah dari sistem pemilu nasional. Ketentuan-ketentuan dalam UU Pilkada tidak hanya berbeda secara substantif, tetapi juga secara implisit membangun jarak kelembagaan dengan UU Pemilu, khususnya dalam struktur dan otoritas pengawasan. Fragmentasi ini melahirkan ketidakkonsistenan sistemik dan berakibat pada lemahnya efektivitas serta kridibilitas pengawasan di lapangan.
Pengaturan pengawasan pilkada yang bersifat parsial dan tidak terintegrasi ke dalam sistem pengawasan pemilu nasional pada dasarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip kesatuan demokrasi. Padahal, Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Baik pemilu maupun pilkada merupakan perwujudan dari prinsip kedaulatan tersebut, sehingga semestinya tunduk pada tata kelola demokrasi yang universal, konsisten, dan setara.
Menkonstruksi pilkada sebagai ruang pengawasan yang berdiri sendiri berpotensi menciptakan ketimpangan dalam perlindungan hak-hak elektoral warga negara. Pemilih dalam pilkada memiliki hak yang setara untuk memperoleh pemilihan yang jujur, adil, dan diawasi secara akuntabel, sebagaimana dalam pemilu. Ketika sistem pengawasan dalam pilkada tidak didukung oleh struktur, prosedur, dan norma yang setara dengan pemilu, maka secara substantif telah terjadi ketidakadilan dan diskriminasi dalam pelayanan demokrasi.
Dari sisi kelembagaan, dualisme ini menciptakan beban kerja ganda sekaligus ketidakjelasan otoritas bagi pengawas pemilu di daerah. Di bawah rezim pemilu, pengawas bekerja dalam struktur Bawaslu yang hirarkis dan memiliki mekanisme koordinasi vertikal yang kuat. Namun dalam konteks pilkada, pengawas pemilu seolah dipaksa berperan sebagai entitas pengawasan yang terpisah, tanpa kejelasan sistem kendali internal maupun dukungan regulatif yang setara. Ketidakjelasan ini menciptakan kerentanan (vulnerability) kelembagaan yang berimplikasi serius terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan – baik dalam bentuk lemahnya koordinasi antar level hingga potensi intervensi kepentingan lokal.
Selain itu, dualisme ini memperumit proses penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada. Ketidaksinkronan dasar hukum menyebabkan ketidakpastian kewenangan antar satu lembaga dengan lembaga lainnya, sehingga ruang hukum yang kabur (legal uncertainty) menjadi celah yang mudah dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk menghindari akuntabilitas. Dalam banyak kasus, hal ini melemahkan penegakan keadilan pemilu, menciptakan preseden buruk, dan mendelegitimasi kepercayaan publik terhadap sistem pengawasan.
Dengan demikian, integrasi sistem pengawasan pemilu dan pilkada tidak dapat lagi dipandang sebagai agenda teknokratis semata. Ia merupakan imperatif konstitusional sekaligus kebutuhan demokratis untuk memastikan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak terfragmentasi oleh dualisme norma. Pengawasan terhadap seluruh jenis pemilu – baik pemilu legislatif, presiden, maupun pilkada – harus berada dalam satu sistem kelembagaan yang utuh, konsisten, dan berbasis prinsip-prinsip tata kelola demokrasi yang menjamin keadilan elektoral secara menyeluruh.
Menuju Kesatuan Sistem Pengawasan
Mengatasi dualisme pengawasan antara pemilu dan pilkada menuntut pembenahan menyeluruh, terutama dalam kerangka normatif. Reformulasi norma diperlukan untuk mengonsolidasikan prinsip-prinsip pengawasan dalam satu sistem hukum yang terintegral. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat tiga arah reformasi yang mendesak untuk dilakukan.
Pertama, penyeragaman rezim hukum pemilu dan pilkada melalui harmonisasi UU Pemilu dan UU Pilkada. Ketimbang mempertahankan dua undang-undang yang terpisah dengan pendekatan dan struktur norma yang berbeda, semestinya Indonesia bergerak menuju kodifikasi sistem pemilu dalam satu undang-undang pemilu nasional. Dalam satu desain normatif ini, perlu ditegaskan bahwa pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada adalah bagian integral dari sistem kedaulatan rakyat yang tunduk pada satu sistem pengawasan yang sama.
Kedua, penguatan peran kelembagaan Bawaslu sebagai satu-satunya otoritas pengawasan elektoral, baik untuk pemilu maupun pilkada. Dalam hal ini, Bawaslu harus diakui secara eksplisit oleh undang-undang sebagai institusi tunggal yang bertanggung jawab terhadap pengawasan seluruh jenis pemilu, tanpa pembedaan. Dengan demikian, tidak hanya akan menghapus ambiguitas kewenangan, tetapi juga memberikan kejelasan structural dan koordinatif terhadap pengawasan pemilu di semua tingkatan.
Ketiga, standarisasi prosedur dan mekanisme pengawasan yang berlaku lintas pemilu. Norma tentang tata cara pencegahan, penindakan, penanganan pelanggaran, serta penyelesaian sengketa perlu diatur dalam satu sistem prosedural yang konsisten. Hal ini akan menciptakan perlakuan hukum, mencegah disparitas perlakuan hukum terhadap warga negara, serta meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas kelembagaan.
Hal yang perlu digarisbawahi, dualisme pengaturan ini sudah terlalu lama menyisakan ambiguitas yang berdampak langsung terhadap kualitas tata kelola pemilu lokal dan nasional. Karena itu, revisi UU Pemilu harus dimanfaatkan sebagai momentum strategis untuk memperkuat posisi kelembagaan Bawaslu secara sistemik. Substansi revisi hendaknya didasarkan pada prinsip mainstreaming pengawasan dalam kerangka Bawaslu sebagai lembaga nasional, bukan sekadar aktor administratif di tingkat lokal. Dengan pendekatan ini, UU Pemilu baru tidak hanya akan menghapus kekacauan normatif, tetapi juga menjadi bagian dari konsolidasi sistemik terhadap pengawasan demokrasi elektoral.
Refleksi Akhir
Sistem pengawasan yang terfragmentasi adalah antitesis dari demokrasi yang konsisten, karena menciptakan standar ganda, perlakuan yang tidak setara, dan ketidakpastian hukum yang merugikan hak konstitusional warga negara. Dalam bungkai rule of law, kepastian hukum dan kesatuan sistem adalah pilar utama yang menopang legitimasi proses politik dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Demokrasi lokal yang kuat tidak akan pernah terwujud jika hukum yang menjadi pijakan pengawasannya justru membuka celah interpretasi ganda dan perdebatan otoritas antar lembaga.
Dengan kata lain, demokrasi lokal yang kuat tidak bisa dibangun di atas fondasi hukum yang lemah dan tidak pasti. Sebaliknya, kesatuan norma dan struktur dalam pengawasan menjadi syarat utama untuk menjamin keadilan pemilu dalam arti seluas-luasnya. Oleh karena itu, kesatuan norma dan struktur pengawasan bukan semata-mata isu kelembagaan, melainkan syarat utama untuk menjamin keadilan pemilu dalam arti seluas-luasnya, yakni keadilan prosedural, keadilan partisipatif, dan keadilan substantif bagi setiap warga negara.
Sebagai lembaga pengawas pemilu, keberadaan Bawaslu seharusnya tidak dibatasi oleh sekat-sekat normatif yang dibentuk oleh konstruksi undang-undang yang tidak sinkron. Ketika Bawaslu ditempatkan dalam posisi ambigu dalam konteks pilkada, maka yang dipertaruhkan bukan hanya efektivitas kerja kelembagaan, tetapi juga integritas hasil pemilihan dan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan itu sendiri. Otoritas kelembagaan yang kabur akan berdampak pada ketidakjelasan prosedur, ketidaktegasan penanganan pelanggaran, dan lemahnya perlindungan terhadap hak politik warga negara. Jika serius ingin memperkuat kualitas demokrasi lokal, maka keberanian untuk menyatukan rezim pengawasan pemilu dan pilkada dalam satu sistem yang utuh adalah keharusan konstitusional, bukan pilihan politis semata.
Editor : U Suryana