get app
inews
Aa Text
Read Next : Hukum Menelan Ludah Saat Puasa, Serta Batasan Batal Puasa Lainnya

Hukum yang Absen di Ujung Republik

Selasa, 03 Juni 2025 | 13:05 WIB
header img
Dr. Bachtiar, Pengajar Hukum Tata Negara FH UNFAM / foto: istimewa

Oleh: Dr. Bachtiar 

Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM

LEBAK, iNewsLebak.id - Wilayah perbatasan sejatinya bukan sekadar garis imajiner yang membatasi satu negara dengan negara lain. Ia adalah ruang simbolik yang merefleksikan seberapa jauh negara benar-benar hadir bagi seluruh warganya. Dalam konstruksi ketatanegaraan, kawasan perbatasan seharusnya menjadi beranda strategis yang meneguhkan kedaulatan, memperlihatkan supremasi hukum, dan menampilkan wajah keadilan negara kepada dunia.

Harus diakui di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, perhatian terhadap kawasan perbatasan meningkat signifikan. Pembangunan pos lintas batas negara (PLBN) yang megah, jalan-jalan penghubung antarwilayah, hingga akses layanan publik yang mulai dibuka, menunjukkan langkah progresif bahwa perbatasan bukan lagi “halaman belakang”, melainkan benar-benar diperankan sebagai “beranda depan” negara.

Namun kemajuan fisik tersebut belum sepenuhnya ditopang oleh kematangan dalam dimensi hukum dan kelembagaan. Di tengah gemerlap Gedung PLBN, masih tersisa persoalan klasik, yakni tumpang tindih kewenangan, lemahnya penegakan hukum, serta ketidakjelasan yurisdiksi yang membuka ruang bagi praktik-praktik ilegal dan abu-abu hukum. Dalam konteks ini, hukum sering kali tertinggal dari laju pembangunan fisik, sehingga menciptakan ketimpangan antara bentuk luar kehadiran negara dan substansi perlindungan hukum bagi warga di perbatasan.

Dalam kondisi seperti itu, perbatasan bukan lagi cermin kehadiran negara, melainkan justru memperlihatkan absennya negara – negara yang gagal menjangkau ujung-ujung wilayahnya dengan keadilan dan perlindungan yang semestinya. Tantangan ke depan bukan lagi semata membangun infrastruktur, tetapi membangun kepastian hukum. Negara perlu memastikan bahwa supremasi hukum tidak berhenti di pusat-pusat kota, melainkan menjangkau hingga titik-titik terluar wilayah kedaulatan. Supremasi hukum di perbatasan bukan hanya soal pengamanan negara, tetapi juga soal penghormatan atas hak, martabat, dan kesejahteraan warga yang hidup dalam keseharian lintas batas.

Oleh karena itu, membicarakan perbatasan bukan hanya soal geopolitik atau pertahanan semata, tetapi soal bagaimana kita menata ulang keberpihakan negara, membangun ulang kerangka hukum, dan menegaskan bahwa hukum tidak boleh berhenti di batas kota, melainkan hidup di setiap jengkal tanah republik, hingga ke tapal batas terakhir.

Potret Tata Kelola Perbatasan

Pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 sejatinya merupakan wujud niat politik negara untuk mengelola kawasan perbatasan secara terkoordinasi. Secara normatif, keberadaan BNPP mencerminkan kesadaran akan pentingnya tata kelola terpadu di wilayaj yang menjadi etalase kedaulatan negara. Namun, dalam praktiknya, kelembagaan ini masih belum memiliki daya dorong yang cukup kuat, baik secara struktural maupun operasional. Tidak adanya undang-undang sebagai payung hukum utama menjadikan BNPP tak lebih dari “coordinator tanpa taji”, yang keberadaannya kerap diabaikan oleh instansi lain.

Alih-alih menjadi pusat integrasi kebijakan, tata kelola perbatasan justru terjebak dalam logika sektoral. Kementerian dan lembaga menjalankan programnya masing-masing tanpa sinkronisasi. TNI dan Polri kerrang bersilang peran di lapangan, pemerintah daerah bergerak dengan arah kebijakan yang tak selalu sejalan dengan pusat, sementara keberadaan masyarakat adat yang telah lama hidup di wilayah perbatasan nyaris tak mendapat tempat dalam perumusan kebijakan. Wilayah perbatasan akhirnya tak dikelola sebagai satu kesatuan ruang berdaulat, melainkan sebagai ruang yang terfragmentasi oleh ego sektoral dan kepentingan proyek jangka pendek.

Di tingkat pusat, negara tanpak riuh dengan berbagai narasi pembangunan dan penegakan hukum. Namun di tapal batas, suara negara kerap hilang – menyisakan kesunyian kelembagaan dan kekosongan hukum yang nyata. Situasi ini melahirkan paradoks, yakni di satu sisi perbatasan diposisikan sebagai beranda terluar negara yang strategis, namun pada saat yang sama diperlakukan seperti ruang marginal yang tidak menjadi prioritas sinkronisasi kebijakan.

Realitas ini menunjukkan bahwa perbatasan tidak dapat ditangani hanya dengan pendekatan teknokratik dan administratif. Wilayah ini mesti diposisikan sebagai simpul strategis dalam kerangka hukum tata negara, yang menuntut konsistensi antara desain kelembagaan dan prinsip-prinsip supremasi konstitusi. Perbatasan adalah cermin kedaulatan, dan oleh karena itu, membutuhkan arsitektur kebijakan yang terintegrasi, lintas sektoral serta berlandaskan hukum yang kokoh dan partisipatif.

Tanpa reformasi kelembagaan yang mendasar, upaya membangun perbatasan akan terus diliputi kekacauan kewenangan, tumpang tindih peran, dan absennya akuntabilitas. Negara harus berhenti memandang perbatasan sebagai “lahan proyek” semata, dan mulai menjadikannya sebagai ruang politik dan hukum yang memerlukan pengelolaan serius dalam semangat keadilan, integrasi, dan kedaulatan yang utuh.

Ketika Hukum Tumpul di Tapal Batas

Wilayah perbatasan seperti Entikong, Skouw, Natuna, hingga Ambalat bukan hanya menyimpan potensi strategis bagi kedaulatan nasional, tetapi juga menampilkan wajah buram penegakan hukum yang belum berdaya. Di wilayah-wilayah inilah negara seharusnya menunjukkan taring hukum yang kuat dan kehadiran institusi yang tangguh. Namun faktanya, penegakan hukum di kawasan perbatasan sering kali tak lebih dari prosedur administratif yang lemah, tidak responsif terhadap kompleksitas realitas lapangan.

Aparat penegak hukum di garis depan berhadapan dengan banyak keterbatasan, seperti infrastruktur minim, logistik terbatas, hingga dualisme komando antara sipil dan militer yang kerap menyulitkan koordinasi. Di sisi lain, yurisdiksi hukum yang tumpang tindih – antara kewenangan kepolisian, TNI, bea cukai, imigrasi, dan aparat pemerintah daerah – menjadikan kawasan perbatasan sebagai ruang hukum yang keruh, penuh celah, dan mudah dieksploitasi.

Pelanggaran hukum pun terjadi secara masif dan berulang, penyelundupan barang, perdagangan manusia, hingga masuknya kapa lasing ke perairan territorial. Negara memang memiliki perangkat hukum yang mamadai, seperti UU 43/2008 tentang Wilayah Negara, UU 17/2008 tentang Pelayaran, KUHP, KUHAP, serta berbagai peraturan sektoral lainnya, namun tanpa kejelasan otoritas, sinergi kelembagaan, dan penguatan kapasitas di lapangan, seluruh perangkat hukum tersebut kehilangan daya operasionalnya.

Masalah ini bukan sekadar kekurangan teknis atau kendala logistik. Melainkan cermin dari tidak hadirnya desain hukum nasional yang responsif dan adaptif terhadap tantangan geopolitik perbatasan. Hukum pidana, hukum laut, hukum imigrasi, dan hukum administrasi negara seolah berjalan masing-masing dalam rel yang berbeda, tanpa orkestrasi kebijakan yang menyatukan arah. Akibatnya, supremasi hukum justru digantikan oleh kekuasaan informal, rente ilegal, dan struktur kuasi-negara yang tumbuh dalam kevakuman otoritas formal.

Dalam konteks hukum tata negara, kondisi ini menggambarkan absennya prinsip integrasi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi negara di wilayah yang seharusnya menjadi simbol kuatnya kedaulatan. Oleh karena itu, revitalisasi penegakan hukum di wilayah perbatasan tidak cukup dilakukan dengan pendekatan sektoral. Diperlukan rekonstruksi kerangka hukum yang berorientasi pada integrasi kelembagaan, kepastian yurisdiksi, dan supremasi konstitusi, agar hukum tidak lagi tumpul di pinggiran, tetapi tajam sebagai penjaga martabat negara.

Warga Negara di Titik Pinggir

Mereka yang hidup di wilayah perbatasan sering kali berada dalam ruang liminal, yakni terjepit diantara dua negara, namun tidak sepenuhnya dirangkul oleh negaranya sendiri. Di atas kertas, mereka adalah warga negara Indonesia yang sah. Namun dalam kenyataan, kehadiran negara terasa jauh: akses pendidikan terbatas, layanan kesehatan tertinggal, dan administrasi kependudukan kerap tidak menjangkau. Identitas kewarganegaraan pun menjadi sesuatu yang simbolik, bukan fungsional.

Lebih dari itu, mayarakat perbatasan hidup dalam jalinan sosial yang melintasi batas-batas geopolitik. Hubungan kekerabatan, perdagangan tradisional, hingga praktik budaya lintas negara sudah berlangsung sejak lama. Sayangnya, hukum nasional sering gagal memahami realitas ini. Alih-alih mengakomodasi, negara hadir dengan pendekatan legalistik yang kaku, bahkan represif. Hukum dipaksakan dari atas tanpa mempertimbangkan dinamika sosial yang hidup di bawah.

Di sinilah letak paradoks hukum di wilayah perbatasan, hukum yang seharusnya menjamin keadilan justru menjadi instrumen eksklusi, memisahkan warga dari hak-haknya. Negara seperti lupa bahwa inti dari kewarganegaraan bukan sekadar status administratif, melainkan jaminan atas perlindungan, pengakuan, dan partisipasi. Hukum yang baik bukan hanya menegakkan ketertiban, tetapi juga mendekatkan negara dengan rakyatnya, termasuk mereka yang tinggal di “ujung republik".

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas perlakukan yang setara dan kehadiran negara tanpa diskriminasi geografis. Oleh karena itu, tugas negara dalam konteks perbatasan bukan semata soal pengamanan wilayah, tetapi menjamin terpenuhinya hak-hak dasar warga negara. Dan untuk itulah, hukum harus mampu menjadi jembatan antara negara dan rakyat, bukan menjadi tembok yang memisahkan.

Saatnya Menata Ulang

Perbatasan selama ini dipandang sebagai halaman belakang republik – jauh dari pusat, jauh pula dari perhatian. Dalam konstruksi hukum nasional, wilayah perbatasan sering kali hanya muncul sebagai lampiran dari kebijakan sektoral: sedikit diatur oleh hukum pelayaran, sebagian oleh hukum imigrasi, sebagian lagi oleh hukum pertahanan dan keamanan. Padahal, perbatasan bukan sekadar titik geografis, melainkan ruang hidup sosial, budaya, ekonomi, dan geopolitik yang kompleks.

Sudah saatnya negara melakukan reposisi cara pandangnya terhadap wilayah perbatasan. Yang dibutuhkan bukan sekadar revisi regulasi, tetapi desain ulang paradigma tata hukum yang mampu menghadirkan keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan secara utuh. Hukum perbatasan harus keluar dari fungsi administratif yang kaku dan menjelma menjadi alat transformatif yang menjangkau rakyat dan menjaga martabat bangsa.

Setidaknya terdapat lima agenda mendesak yang perlu segera dilakukan. Pertama, membangun rezin hukum perbatasan yang otonom dan holistik. Pengelolaan wilayah perbatasan tidak bisa terus-menerus diposisikan sebagai urusan turunan dari berbagai sektor. Ia harus diatur dalam satu kerangka hukum nasional yang bersifat integratif dan khusus, semacam lex specialis yang memberikan kejelasan kewenangan, otoritas, dan arah kebijakan. Kedua, memperkuat BNPP melalui undang-undang, sebab BNPP saat ini masih berjalan dibawah kerangka peraturan presiden, yang dalam praktiknya sering terjebak dalam tarik-menarik kewenangan antara Kementerian dan lembaga. Sudah saatnya BNPP dikukuhkan sebagai badan otoritatif berbasis undang-undang, agar memiliki daya paksa dan posisi koordinatif yang kuat dalam tata kelola lintas sektor. Ketiga, mendesentralisasi pelayanan hukum dan administrasi publik. Kehadiran negara di perbatasan tidak cukup hanya dibuktikan dengan bendera atau bangunan pos. Yang dibutuhkan masyarakat adalah akses riil terhadap layanan hukum, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Pelayanan publik berbasis hukum harus mendekat ke warga, bukan memaksa warga menembus pusat. 

Reformasi tata hukum perbatasan bukan semata kebutuhan birokratis, melainkan panggilan etis dan konstitusional. Hukum harus menjadi jembatan antara pusat dan pinggiran, serta antara negara dan warga. Inilah saatnya hukum tampil bukan sebagai tembok pembatas, tetapi sebagai ruang perjumpaan yang memanusiakan.

Hukum Tak Boleh Mati di Tapal Batas

Ukuran sejati dari negara hukum bukan hanya terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi atau keberadaan lembaga peradilan megah di ibu kota, tetapi diuji di tempat-tempat yang paling jauh dari pusat, yakni di garis-garis perbatasan yang sering dilupakan. Di sanalah, hukum harus menunjukkan wajahnya yang paling manusiawi – bukan sekadar sebagai alat pengatur, tetapi sebagai pelindung martabat dan hak setiap warga negara.

Kedaulatan tidak cukup ditegakkan dengan bendera yang berkibar atau jalan yang membelah hutan. Ia harus menjelma dalam wujud hukum yang adil, hadir, dan berpihak kepada mereka yang hidup di pinggiran republik. Hukum tidak boleh menjadi privilese kota-kota besar, melainkan harus berdenyut juga di desa-desa perbatasan, menyentuh kehidupan rakyat kecil, dan menyuarakan keadilan yang inklusif.

Jika hukum terus absen di wilayah perbatasan, maka sesungguhnya negara sedang membiarkan ketimpangan tumbuh, rasa terbuang menguat, dan kepercayaan terhadap republik ini memudar. Kita tidak sedang menjaga perbatasan bila hukum tak pernah sampai menyapa kehidupan mereka yang tinggal di sana.

Membangun perbatasan bukan semata membangun infrastruktur fisik. Lebih dari itu, ini adalah upaya membangun keberanian politik dan kesadaran konstitusional bahwa setiap jengkal tanah dan setiap insan warga negara – betapapun jauh dari pusat kekuasaan – berhak atas perlindungan, pengakuan, dan keadilan yang sama dan setara. Dan bila hukum gagal hidup di ujung republik, yang sekarat bukan hanya kedaulatan, tetapi nurani republik ini sendiri… Bravo, NKRI harga mati!!

Editor : U Suryana

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut