get app
inews
Aa Text
Read Next : Menyoal Dualistik Pengawasan

Revitalisasi Pengawasan Dana Kampanye

Kamis, 05 Juni 2025 | 10:13 WIB
header img
Dr. Bachtiar, Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM - Pemerhati Kepemiluan / foto: istimewa

Oleh: Dr. Bachtiar 

Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAMPemerhati Kepemiluan

SERANG, iNewsLebak.id - Satu dari sekian banyak celah integritas dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia adalah lemahnya pengawasan terhadap dana kampanye. Persoalan ini bukan hal baru, namun menjadi semakin krusial ketika kontestasi politik semakin mahal, terpolarisasi, dan rawan manipulasi. Dalam praktiknya, Bawaslu masih menghadapi keterbatasan mendasar dalam mengawasi aliran uang kampanye secara real-time. Salah satu problem struktural adalah keterbatasan kewenangan hukum untuk mengakses langsung rekening dana kampanye yang dibuka oleh peserta pemilu. Padahal, rekening khusus itu menjadi titik awal untuk mengungkap berbagai potensi pelanggaran, dari sumbangan ilegal, penggunaan dana negara terselubung, hingga indikasi politik uang berskala besar.

Kondisi ini diperparah oleh tidak sinkronnya mekanisme pengawasan lintas lembaga. Bawaslu, sebagai pengawas, tidak memiliki akses setara dengan KPU yang menjadi otoritas pencatat dan penerima laporan dana kampanye. Sementara itu, PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan, hanya dapat bertindak bila ada permintaan resmi dalam kasus tertentu. Celah ini menimbulkan moral hazard bagi peserta pemilu yang ingin menyamarkan sumber dana atau menggunakan saluran-saluran tidak sah tanpa terdeteksi dalam waktu cepat. Akibatnya, pengawasan menjadi reaktif, bukan preventif, dan publik kehilangan kesempatan untuk mengetahui siapa yang sesungguhnya membiayai para calon pemimpin.

Masalah pengawasan dana sosialisasi calon juga tidak kalah genting. Banyak petahana atau pejabat publik yang menggunakan program institusional untuk meningkatkan popularitas pribadi dengan membonceng anggaran negara, Karena sosialisasi bukan bagian dari masa kampanye resmi, praktik ini sering luput dari radar pengawasan dana kampanye. Padahal secara substansi, aktivitas tersebut memiliki tujuan elektoral yang sama. Tanpa kerangka hukum yang jelas dan mekanisme pengawasan yang kuat terhadap dana publik yang digunakan untuk kegiatan bercorak politik, ruang penyalahgunaan akan semakin terbuka dan mencederai prinsip kesetaraan dalam kontestasi.

Pengawasan yang Lemah, Risiko yang Tinggi

Keterbatasan ini berkonsekuensi langsung pada minimnya efektivitas pengawasan pembiayaan poltik. Banyak laporan penggunaan dana kampanye yang disusun secara formalitas, tidak mencerminkan transaksi riil di lapangan. Di sisi lain, optensi penyalahgunaan anggaran pemerintah untuk kepentingan sosialisasi pejabat publik yang berkontestasi juga sulit dilacak, karena menyaru dalam program bantuan, kegiatan resmi, atau publikasi yang dibungkus sebagai kegiatan institusi.

Kondisi ini melemahkan prinsip transparansi dan keadilan dalam pemilu. Dalam iklim demokrasi yang sehat, siapa yang membiayai politisi harus seterang siapa yang dipilih rakyat. Namun, dalam realitas, aliran dana kampanye lebih banyak disembunyikan dari pada diawasi.

Lebih dari sekadar problem administratif, lemahnya pengawasan dana kampanye dan sosialisasi membuka pintu bagi kooptasi kepentingan ekonomi dalam politik. Ketika sumber pendanaan politik tidak transparan, ruang bagi oligarki untuk menyusup ke dalam proses elektoral menjadi sangat terbuka. Donatur besar bisa mendikte arah kebijakan pasca terpilihnya kandidat, menciptakan ketergantungan yang merusak independensi pejabat publik. Dalam jangka panjang, hal ini menurunkan kualitas demokrasi dan meminggirkan aspirasi rakyat yang sesungguhnya.

Tidak hanya itu, minimnya pengawasan juga merugikan peserta pemilu yang jujur. Ketika kandidat yang menaati aturan dibayangi oleh mereka yang bisa mengalirkan dana besar tanpa pengawasan ketat, kontestasi menjadi tidak setara. Ini menciptakan insentif negatif, seolah kecurangan justru lebih menjanjikan daripada kepatuhan. Ketimpangan ini pada akhirnya merusak legitimasi hasil pemilu, memicu apatisme publik, dan memperkuat siklus ketidakpercayaan terhadap institusi demokrasi.

Sayangnya, regulasi yang ada belum menjawab tantangan tersebut. UU Pemilu maupun peraturan teknis dari KPU dan Bawaslu belum memberi ruang bagi pengawasan digital yang presisi dan real-time. Padahal, dengan kemajuan teknologi keuangan dan big data, negara sebenarnya memiliki potensi besar untuk merancang sistem pengawasan dana kampanye yang lebih transparan dan akuntabel. Tanpa terobosan regulative dan kelembagaan, pengawasan akan terus tertinggal dari modus baru yang semakin canggih dan terselubung. 

Revitalisasi Pengawasan

Memperhatikan kelemahan tersebut, sudah saatnya desain kelembagaan pengawasan dana kampanye untuk direvitalisasi. 

Pertama, perluasan kewenangan Bawaslu untuk melakukan audit awal dan mendalam terhadap dana kampanye sangat mendesak. Selama ini fungsi audit lebih banyak menjadi ranah KPU bersama kantor akuntan publik. Namun ketika temuan berpotensi pelanggaran administratif atau pidana, mekanisme pengawasan terputus. Bawaslu perlu diberi akses legal, dan bahkan hak intervensi terbatas, untuk menyelidiki potensi kecurangan sebelum dana digunakan.

Kedua, sudah saatnya dibentuk unit pengawasan keuangan pemilu berbasis digital, sebagai bentuk joint control antara Bawaslu, KPU, dan PPATK. Dengan dukungan teknologi finansial, transaksi dalam rekening kampanye bisa diawasi secara otomatis – dengan sistem flagging untuk sumbangan mencurigakan, penggunaan yang tidak wajar, atau transaksi dari sumber tidak sah. Unit ini juga dapat bekerja lintas siklus: tidak hanya mengawasi masa kampanye, tetapi juga pra-kampanye (sosialisasi) dan pasca-pemilu (laporan keuangan akhir). Dengan begitu, praktik penyamaran dana kampanye dalam bentuk program sosialisasi pejabat aktif bisa lebih mudah ditindak.

Ketiga, penting untuk menata ulang sistem pelaporan dana kampanye yang selama ini bersifat deklaratif dan kurang terverifikasi. Banyak peserta pemilu yang hanya menyusun laporan keuangan secara administratif demi memenuhi syarat formal, bukan mencerminkan transaksi riil. Sistem pelaporan yang ideal adalah yang langsung terintegrasi dengan rekening kampanye dan sistem informasi digital lembaga pengawas. Setiap pemasukan dan pengeluaran wajib dicatat secara otomatis melalui platform digital yang terhubung dengan otoritas pengawasan. Ini akan menutup celah manipulasi laporan dan mempermudah deteksi dini atas penyimpangan.

Keempat, perlu penguatan kapasitas kelembagaan dalam aspek sumber daya manusia dan infrastruktur digital. Audit dana kampanye tidak bisa hanya mengandalkan ketelitian manual, tetapi membutuhkan tenaga analis forensik keuangan, pengembang sistem informasi, dan pakar hukum pembiayaan politik. Pemerintah dan DPR perlu memikirkan investasi jangka panjang untuk membangun sistem pengawasan dana politik yang kuat dan modern. ini adalah bagian dari upaya memperkuat demokrasi prosedural sekaligus menjaga integritas pemilu.

Kelima, transparansi kepada publik juga perlu ditingkatkan. Masyarakat berhak tahu siapa yang mendanai kandidat yang akan mewakili mereka. Oleh karena itu, Sebagian data transaksi dana kampanye perlu dipublikasikan secara berkala, terutama yang menyangkut identitas penyumbang besar dan pola penggunaan dana kampanye. Dengan partisipasi publik dalam mengawasi, tekanan moral terhadap kandidat dan partai politik untuk berlaku jujur akan lebih kuat. Ini sejalan dengan prinsip demokrasi partisipatif, di mana publik tidak hanya memilih, tetapi juga mengawasi proses politik secara aktif.

Demokrasi Harus Transparan

Demokrasi tidak hanya soal suara, tetapi juga soal uang. Tanpa pengawasan dana kampanye yang kuat dan berbasis sistem digital, pemilu akan terus menjadi ajang transaksional, bukan seleksi rasional. Penting bagi negara untuk tidak membiarkan politik yang berlindung di balik kelemahan regulasi dan keterbatasan lembaga pengawas. Kita harus berani bergerak dari retorika ke reformasi kelembagaan. Sebab di balik setiap suara yang dibeli, ada masa depan demokrasi yang dijual.

Penegasan atas pentingnya transparansi dana kampanye bukan sekadar jargon etis, tetapi menjadi prasyarat bagi tumbuhnya kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Tanpa transparansi, publik akan terus curiga bahwa pemenang pemilu bukanlah yang paling kompeten, melainkan yang paling mampu membayar. Kondisi ini menciptakan siklus korupsi politik, yakni biaya tinggi saat kampanye dibayar kembali dengan rente saat berkuasa. Dalam jangka panjang, demokrasi akan menjadi instrumen kartel kekuasaan, bukan arena kompetisi gagasan.

Ketiadaan akses publik terhadap informasi pembiayaan politik memperkuat asimetri informasi antara warga dan elite. Masyarakat hanya melihat baliho, iklan, dan janji, tetapi tidak tahu siapa yang membiayai semuanya dan dengan kepentingan apa. Kondisi ini lagi-lagi memperlemah kontrol publik dan menumpulkan fungsi akuntabilitas dalam pemilu. Oleh karena itu, pembukaan data dana kampanye secara parsial kepada masyarakat harus dijadikan bagian dari reformasi besar-besaran sistem pemilu. 

Lebih jauh, kegagalan menertibkan dana kampanye juga berdampak pada legitimasi hasil pemilu itu sendiri. Ketika rakyat merasa hasil pemilu diatur oleh uang, bukan oleh suara murni, maka kepercayaan terhadap seluruh institusi politik pun bisa runtuh. Ini bukan sekadar soal regulasi teknis, tetapi menyangkut stabilitas sosial dan kohesi demokratis yang sangat fundamental. 

Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu tidak boleh menunda agenda revitalisasi ini. Dengan pemilu yang akan datang, momentum penguatan pengawasan dana kampanye harus dimanfaatkan sebagai uji komitmen kolektif. Revitalisasi pengawasan dana kampanye adalah indikator apakah demokrasi Indonesia masih dijalankan dengan idealisme reformasi, atau telah jatuh menjadi sekadar prosedur kosong yang bisa dibeli.

Transparansi dan integritas pembiayaan politik bukan cita-cita utopis. Negara-negara demokrasi lain telah memulai dan berhasil menegakkan sistem yang lebih terbuka, akuntabel, dan berbasis teknologi. Indonesia pun bisa, asal ada kemauan politik yang kuat dan dukungan masyarakat sipil yang aktif. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang terang, yakni terang dalam pilihan dan terang dalam pembiayaannya.

Editor : U Suryana

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut