Besaran iuran 2,5% tersebut tak hanya membebankan nelayan namun sempat jadi polemik. Banyak pihak yang menilai iuran itu lebih mirip pungutan liar (pungli) karena tidak ada legal standing yang melandasinya. Hanya berdasarkan kesepakatan aja.
Dalam Perda No 8 Tahun 2010 Tentang Retribusi Jasa Usaha hanya menjelaskan besaran 3% retribusi yang dibebankan kepada pemenang lelang. Tanpa penjelasan lebih detail apakah hasil PAD dari retribusi tersebut dialokasikan sebagian kepada pengelola atau tidak.
Hingga saat ini tak sedikit nelayan yang mengeluh dengan besaran iuran tersebut. Apalagi tanpa ada kejelasan apakah iuran yang terkumpul mencukupi biaya operasional atau malah lebih dari cukup. Karena semua sudah dipatok dengan alasan kesepakatan.
PAD miliaran rupiah hasil retribusi TPI Binuangeun disetorkan seluruhnya ke kas daerah. Namun pengelolaan, pengawasan, dan pemeliharaan TPI masih saja dibebankan ke nelayan dengan dalih iuran.
Pemerintah daerah sudah seharusnya turun tangan melakukan kajian dan evaluasi terhadap hal ini. Jangan sampai iuran dari nelayan yang hanya berdasarkan kesepakatan saja malah mengebiri kewenangan pemda.
Editor : Sofi Mahalali
Artikel Terkait