Memaafkan bukan hanya tentang menghapus kesalahan orang lain, tetapi juga tentang bagaimana kita membebaskan diri dari beban emosi yang bisa menghambat pertumbuhan pribadi. Dengan memaafkan secara sadar, kita tidak hanya memperbaiki hubungan dengan sesama, tetapi juga menciptakan kedamaian dalam diri sendiri.
Selain budaya maaf-maafan yang sering kali kehilangan esensi, Idul Fitri juga membawa tekanan sosial lainnya. Ada anggapan bahwa Lebaran harus dirayakan dengan pakaian baru, makanan melimpah, dan pemberian THR kepada keluarga dan kerabat atau sanak saudara.
Bagi sebagian orang, ini adalah bagian dari kebahagiaan Lebaran. Namun, bagi mereka yang berada dalam kondisi ekonomi sulit, tradisi ini bisa menjadi beban yang berat. Tidak sedikit orang yang merasa "tidak cukup baik" hanya karena tidak mampu mengikuti standar sosial yang sudah terbentuk ini.
Padahal, esensi Idul Fitri bukanlah tentang seberapa banyak uang yang kita keluarkan, melainkan tentang bagaimana kita membersihkan hati dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Tetapi dalam praktiknya, terkadang justru aspek material yang lebih mendapatkan perhatian.
Selain itu, ada budaya mudik yang bagi sebagian besar masyarakat menjadi bagian tak terpisahkan dari Lebaran. Namun, dalam beberapa kasus, mudik justru menjadi ajang pembuktian sosial. Mereka yang pulang kampung dengan kendaraan mewah atau membawa banyak oleh-oleh dianggap lebih "sukses," sementara yang datang dengan sederhana bisa jadi dipandang sebelah mata. Padahal, sejatinya, mudik bukan soal pamer keberhasilan, tetapi tentang kembali ke akar, bertemu keluarga, dan mempererat hubungan yang mungkin renggang karena kesibukan sehari-hari.
Editor : U Suryana
Artikel Terkait