Jejak Sejarah Tugu Romusha Bayah di Lebak: Saksi Bisu Kerja Paksa Jepang

LEBAK, iNewsLebak.id - Sejarah Tugu Romusha tidak bisa dipisahkan dari dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh kerja paksa romusha.
Tugu ini awalnya dibangun oleh Tan Malaka pada tahun 1946 untuk mengenang warga yang tewas akibat romusha. Tugu setinggi tiga meter ini sempat roboh akibat hujan deras disertai angin kencang, diperparah dengan kekurangan perawatan.
Romusha adalah sebutan bagi orang-orang yang dipekerjakan secara paksa oleh Jepang selama masa penjajahan Perang Dunia II di Indonesia.
Tugu Romusha Bayah adalah monumen yang didirikan untuk mengenang peristiwa kerja paksa (romusha) yang terjadi pada masa penjajahan Jepang di wilayah Bayah, Banten.
Monumen ini memiliki makna yang mendalam dalam konteks sejarah Indonesia, khususnya terkait dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat Indonesia selama periode tersebut.
Tugu Romusha Bayah terikat erat dengan pembangunan jalur kereta api Bayah–Saketi, yang dibangun dengan memanfaatkan tenaga kerja paksa dari berbagai daerah. Proyek ini menjadi simbol eksploitasi dan penderitaan yang dialami oleh banyak orang pada masa itu.
Tugu Romusha dibangun oleh Tan Malaka pada tahun 1946. Selain menjadi tugu peringatan romusha, penyebutannya juga dikaitkan dengan Tugu Tan Malaka.
Tan Malaka sendiri dikenal sebagai tokoh yang menyebutkan nama Republik Indonesia. Dalam beberapa catatan sejarah, kampung pengungsi terakhir Tan Malaka adalah Bayah.
Pada tahun 1942-an, Tan Malaka bekerja di tambang arang (batu bara) Bayah Kozan sebagai mandor yang mengurusi para Romusha.
Tugu Romusha berada di Jalan Ciwaru - Bayah, Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak Banten, tidak jauh dari SMP Negeri 1 Bayah dan dekat dengan pertokoan di Bayah.
Tugu ini memiliki tinggi sekitar 3 meter dan terbuat dari beton. Di bagian atas tugu terdapat tulisan "Romusha" dan "1942-1945".
Monumen Romusha terletak di lokasi yang tinggi, sedikit di atas jalan. Monumen itu sendiri berbentuk persegi, dengan panjang masing-masing sisi sekitar 10 anak tangga seukuran orang dewasa.
Monumen ini tidak memiliki prasasti, simbol, atau logo apa pun. Sepuluh anak tangga dengan ubin hitam disediakan untuk mencapai monumen
Beberapa waktu lalu Tugu Romusha di Bayah sempat roboh akibat hujan deras dan angin kencang. Kondisi ini juga diperparah oleh kurangnya perawatan.
Sejarah Tugu Romusha sebagai monumen penting mengingatkan kita pada penderitaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Tugu ini menjadi Saksi bisu kerja paksa dan eksploitasi yang dialami para Romusha. Meskipun sebuah tugu di Bayah telah roboh, keberadaannya tetap menjadi pengingat sejarah yang berharga dan simbol perjuangan.
Editor : Imam Rachmawan