Memaafkan di Hari Raya; Tradisi, Kesadaran, atau Formalitas?

Sebagian besar pesan itu dikirim dalam bentuk broadcast atau salinan dari template yang sudah ada, tanpa personalisasi atau refleksi yang mendalam.
Pertanyaannya, apakah memaafkan hanya sebatas mengirim pesan singkat tanpa benar-benar memperbaiki hubungan? Ataukah itu hanya sebatas formalitas agar tidak dianggap sombong?
Di lingkungan sosial, sering kali ada tekanan untuk mengikuti budaya maaf-maafan ini. Tidak sedikit orang yang merasa terpaksa meminta atau memberi maaf karena takut dianggap tidak menghormati tradisi. Tapi, jika permintaan maaf hanya dilakukan karena tuntutan sosial, tanpa ada niat untuk benar-benar memperbaiki diri, maka makna Idul Fitri sebagai hari kemenangan justru menjadi kabur.
Hal lain yang sering luput dari perhatian adalah bahwa memaafkan adalah sebuah proses. Tidak semua orang bisa langsung memaafkan begitu saja, terutama jika luka yang ditinggalkan cukup dalam. Dalam kehidupan nyata, ada kalanya kita butuh waktu untuk benar-benar menerima, memahami, dan akhirnya memaafkan dengan tulus.
Memaksa seseorang untuk memberi maaf hanya karena "sudah Lebaran" sebenarnya justru bisa membuat proses ini kehilangan maknanya. Sebaliknya, memberi ruang bagi diri sendiri untuk benar-benar memahami dan meresapi proses memaafkan justru akan membuatnya lebih bermakna.
Editor : U Suryana