Secara teoritik, pemilu dan pilkada memang memiliki perbedaan dari sisi ruang lingkup, skala, dan rezim hukum yang melandasi pelaksanaannya. Namun demikian, keduanya merupakan instrumen konstitusional yang sama-sama bertujuan memilih pemimpin publik melalui mekanisme kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, dari sudut pandang tata kelola demokrasi yang utuh, semestinya tidak ada dikotomi dalam standar integritas, prinsip pengawasan, maupun desain kelembagaan antara pemilu dan pilkada. Keduanya idealnya berada dalam satu kerangka sistem pengawasan yang seragam dan saling melengkapi.
Namun realitas normatif menunjukkan sebaliknya. Rezim hukum memperlakukan pilkada seolah entitas otonom yang terpisah dari sistem pemilu nasional. Ketentuan-ketentuan dalam UU Pilkada tidak hanya berbeda secara substantif, tetapi juga secara implisit membangun jarak kelembagaan dengan UU Pemilu, khususnya dalam struktur dan otoritas pengawasan. Fragmentasi ini melahirkan ketidakkonsistenan sistemik dan berakibat pada lemahnya efektivitas serta kridibilitas pengawasan di lapangan.
Pengaturan pengawasan pilkada yang bersifat parsial dan tidak terintegrasi ke dalam sistem pengawasan pemilu nasional pada dasarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap prinsip kesatuan demokrasi. Padahal, Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Baik pemilu maupun pilkada merupakan perwujudan dari prinsip kedaulatan tersebut, sehingga semestinya tunduk pada tata kelola demokrasi yang universal, konsisten, dan setara.
Menkonstruksi pilkada sebagai ruang pengawasan yang berdiri sendiri berpotensi menciptakan ketimpangan dalam perlindungan hak-hak elektoral warga negara. Pemilih dalam pilkada memiliki hak yang setara untuk memperoleh pemilihan yang jujur, adil, dan diawasi secara akuntabel, sebagaimana dalam pemilu. Ketika sistem pengawasan dalam pilkada tidak didukung oleh struktur, prosedur, dan norma yang setara dengan pemilu, maka secara substantif telah terjadi ketidakadilan dan diskriminasi dalam pelayanan demokrasi.
Dari sisi kelembagaan, dualisme ini menciptakan beban kerja ganda sekaligus ketidakjelasan otoritas bagi pengawas pemilu di daerah. Di bawah rezim pemilu, pengawas bekerja dalam struktur Bawaslu yang hirarkis dan memiliki mekanisme koordinasi vertikal yang kuat. Namun dalam konteks pilkada, pengawas pemilu seolah dipaksa berperan sebagai entitas pengawasan yang terpisah, tanpa kejelasan sistem kendali internal maupun dukungan regulatif yang setara. Ketidakjelasan ini menciptakan kerentanan (vulnerability) kelembagaan yang berimplikasi serius terhadap pelaksanaan fungsi pengawasan – baik dalam bentuk lemahnya koordinasi antar level hingga potensi intervensi kepentingan lokal.
Editor : U Suryana
Artikel Terkait