Ketiadaan akses publik terhadap informasi pembiayaan politik memperkuat asimetri informasi antara warga dan elite. Masyarakat hanya melihat baliho, iklan, dan janji, tetapi tidak tahu siapa yang membiayai semuanya dan dengan kepentingan apa. Kondisi ini lagi-lagi memperlemah kontrol publik dan menumpulkan fungsi akuntabilitas dalam pemilu. Oleh karena itu, pembukaan data dana kampanye secara parsial kepada masyarakat harus dijadikan bagian dari reformasi besar-besaran sistem pemilu.
Lebih jauh, kegagalan menertibkan dana kampanye juga berdampak pada legitimasi hasil pemilu itu sendiri. Ketika rakyat merasa hasil pemilu diatur oleh uang, bukan oleh suara murni, maka kepercayaan terhadap seluruh institusi politik pun bisa runtuh. Ini bukan sekadar soal regulasi teknis, tetapi menyangkut stabilitas sosial dan kohesi demokratis yang sangat fundamental.
Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu tidak boleh menunda agenda revitalisasi ini. Dengan pemilu yang akan datang, momentum penguatan pengawasan dana kampanye harus dimanfaatkan sebagai uji komitmen kolektif. Revitalisasi pengawasan dana kampanye adalah indikator apakah demokrasi Indonesia masih dijalankan dengan idealisme reformasi, atau telah jatuh menjadi sekadar prosedur kosong yang bisa dibeli.
Transparansi dan integritas pembiayaan politik bukan cita-cita utopis. Negara-negara demokrasi lain telah memulai dan berhasil menegakkan sistem yang lebih terbuka, akuntabel, dan berbasis teknologi. Indonesia pun bisa, asal ada kemauan politik yang kuat dan dukungan masyarakat sipil yang aktif. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang terang, yakni terang dalam pilihan dan terang dalam pembiayaannya.
Editor : U Suryana
Artikel Terkait