Menata Ulang Wewenang Bawaslu
Revisi UU Pemilu harus dimaknai lebih dari sekadar perbaikan sistem pemungutan suara atau penguatan afirmasi representasi. Ini adalah momentum penting untuk melakukan koreksi terhadap desain kelembagaan pengawasan pemilu. Salah satu koreksi mendasar yang perlu dan mendesak untuk dilakukan adalah mengubah pendekatan “koordinatif” yang selama ini membelenggu kewenangan Bawaslu, menjadi pendekatan “otoritatif terbatas”.
Dalam pendekatan ini, Bawaslu tidak lantas menjadi lembaga superbodi, tetapi diberikan kewenangan hukum yang tegas dan proporsional untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan memenuhi unsur pelanggaran pemilu pada tahap awal (first legal screening). Pernyataan ini bersifat mengikat secara hukum bagi mitra penegakan hukum pemilu – seperti Polri dan Kejaksaan – sehingga mencegah mandeknya proses di tahap koordinasi. Hal ini penting untuk menjamin efektivitas penegakan hukum, sekaligus menjaga marwah institusi pengawasan yang selama ini sering dipandang hanya sebagai “pengamat dengan seragam”.
Lebih jauh, untuk jenis pelanggaran administratif yang berdampak langsung terhadap kualitas dan integritas hasil pemilu – seperti penyalahgunaan jabatan, penyalahgunaan fasilitas negara, keberpihakan aparatur, dan manipulasi hasil suara – Bawaslu harus memiliki wewenang untuk menyelesaikannya secara cepat dan final, serta berwenang menjatuhkan sanksi, termasuk pembatalan pencalonan atau diskualifikasi peserta pemilu. Ini bukan soal memperbesar kuasa lembaga, melainkan memastikan bahwa pengawasan bukan sekadar ritual prosedural, melainkan instrumen hukum substantif untuk menjaga keadilan pemilu. Pengawasan pemilu tidak lagi berhenti sebagai catatan moral atau deretan putusan dan rekomendasi pasif, tetapi menjadi alat intervensi hukum yang nyata, progresif, dan menjamin keadilan pemilu.
Konsep penguatan kewenangan ini juga sejalan dengan prinsip rule of law dalam pemilu yang demokratis. Jika pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif tidak dapat ditindak dengan efektif hanya karena tumpang tindih kewenangan atau ketidaktegasan prosedur, maka legitimasi hasil pemilu akan selalu menjadi persoalan. Demokrasi prosedural harus dibarengi dengan ketegasan substansi. Dalam hal ini, Bawaslu harus menjadi garda depan, bukan sekadar petugas dokumentasi pelanggaran.
Oleh karena itu, revisi UU Pemilu harus berani mendesain ulang kerangka kelembagaan yang selama ini memperlakukan Bawaslu sebagai pelengkap administratif semata. Posisi Bawaslu saat ini cenderung dipinggirkan ke ranah pendamping, bukan pengambil keputusan strategis. Padahal, dalam sistem pemilu yang demokratis dan kompetitif, keberadaan lembaga pengawas seharusnya tidak hanya difungsikan sebagai “mata” atau “telinga” demokrasi, melainkan juga sebagai tangan yang bisa bertindak tegas ketika norma dilanggar.
Editor : U Suryana
Artikel Terkait