Menata Ulang Pilar Keadilan Pemilu Momentum Revisi UU Pemilu

Oleh: Dr. Bachtiar
Pengajar HTN FH UNPAM dan Pemerhati Hukum Pemilu
SERANG, iNewsLebak.id – Revisi Undang-Undang Pemilu kembali menjadi wacana serius, tidak hanya di parlemen, tetapi juga menjadi diskursus hangat di kalangan penggiat pemilu, akademisi, dan masyarakat sipil. Berbagai usulan mengemuka, mulai dari perubahan sistem pemilu proporsional terbuka ke tertutup, hingga penguatan afirmasi keterwakilan Perempuan. Namun, satu aspek yang justru kerap luput dari sorotan publik adalah penataan kewenangan penanganan pelanggaran pemilu oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam konteks penguatan demokrasi elektoral, penataan ini bukan sekadar soal teknis kelembagaan, melainkan menyangkut otoritas negara dalam menjamin keadilan pemilu (electoral justice).
Dalam setiap pemilu, isu pelanggaran – baik administratif, etik, maupun pidana – bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan bentuk pengingkaran terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin terwujud jika pengawasan dijalankan secara efektif, independen, dan memiliki daya paksa hukum yang jelas. Sayangnya, struktur hukum dan desain kelembagaan yang ada saat ini sering kali menempatkan Bawaslu dalam posisi serba terbatas – memiliki mandat pengawasan, tetapi tidak cukup diberi otoritas untuk memastikan pelanggaran benar-benar ditindak. Maka revisi UU Pemilu bukan hanya momentum legislasi, tetapi juga peluang untuk merevitalisasi peran Bawaslu sebagai pengawal integritas demokrasi elektoral.
Lemah di Hulu, Buntu di Hilir
Selama ini, penanganan pelanggaran pemilu tersekat ke dalam tiga ranah hukum: administrasi, etik, dan pidana. Masing-masing memiliki mekanisme dan lembaga tersendiri. Namun dalam praktiknya, sekat tersebut justru menciptakan fragmentasi yang melemahkan efektivitas penegakan hukum pemilu. Bawaslu yang semestinya menjadi aktor sentral dalam pengawasan, kerap terjebak dalam relasi koordinatif yang timpang.
Khusus untuk pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu harus melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), bersama Kepolisian dan Kejaksaan. Sayangnya, banyak kasus berhenti di meja koordinasi karena perbedaan tafsir hukum, kurangnya keberanian politis, atau alasan prosedural. Bawaslu hanya diberi hak untuk “mengajukan” dan “berkoordinasi”, bukan “memutuskan” dan “menjamin tindak lanjut”. Inilah salah satu titik lemah utama pengawasan pemilu.
Situasi ini menyebabkan proses penanganan pelanggaran menjadi stagnan di dua titik krusial: pertama, ketika terjadi tarik menarik interpretasi hukum antar lembaga; dan kedua, ketika ada kekosongan atau kelemahan keberanian institusional dalam menindak pelanggaran yang memiliki sensitivitas politik tinggi. Akibatnya, banyak pelanggaran yang nyata terjadi di lapangan – seperti politik uang, penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat negara, atau mobilisasi ASN – berakhir tanpa sanksi, bahkan sebelum mencapai tahap penyidikan.
Editor : U Suryana