Menata Ulang Pilar Keadilan Pemilu Momentum Revisi UU Pemilu

Menjawab Tantangan Elektoral Masa Depan
Dalam desain kelembagaan pemilu, Bawaslu kerap dipersepsikan sebagai “wasit yang tidak punya peluit”. Ini tak hanya menurunkan kepercayaan publik, tetapi juga memperkuat sikap permisif terhadap pelanggaran. Padahal demokrasi tidak cukup dijaga dengan penyelenggara yang netral, tetapi juga menuntut pengawas yang kuat, berani, dan didukung kerangka hukum yang fungsional.
Pemilu 2024 telah memperlihatkan bahwa tantangan pengawasan kian kompleks – politik uang makin canggih, netralitas ASN makin cair, dan penyalahgunaan kekuasaan makin subtil. Tanpa reformulasi kewenangan Bawaslu, demokrasi elektoral kita akan terus berada di bawah bayang-bayang “kemenangan prosedur atas substansi”.
Penguatan kewenangan bukan berarti lepas dari kontrol. Justru dengan kewenangan yang terdefinisi jelas, sistem akuntabilitas Bawaslu akan semakin tegas; mana yang dapat diselesaikan sendiri, mana yang harus diserahkan ke lembaga lain, dan mana yang dapat dikontrol publik secara terbuka.
Demokrasi tanpa pengawasan yang kuat hanyalah prosedur kosong. Revisi UU Pemilu jangan hanya bicara tentang metode pencoblosan atau penghitungan suara, tetapi juga tentang bagaimana menjamin pelanggaran tidak menjadi norma, dan pengawasan bukan sekedar seremoni. Jika bangsa ini serius ingin membangun pemilu yang berintegritas, maka sudah waktunya kita menempatkan Bawaslu sebagai pilar utama dalam arsitektur keadilan pemilu.
Jika demokrasi elektoral ingin diperkuat, maka negara tidak bisa terus-menerus menjadikan Bawaslu sebagai penonton prosedur hukum yang melelahkan. Saatnya menjadikan Bawaslu sebagai penggerak utama pengawasan yang memiliki daya paksa hukum. Dan itu hanya mungkin jika UU Pemilu yang baru benar-benar berpihak pada fungsi pengawasan yang kuat, tegas, dan berwibawa.
Editor : U Suryana