Potret Tata Kelola Perbatasan
Pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 sejatinya merupakan wujud niat politik negara untuk mengelola kawasan perbatasan secara terkoordinasi. Secara normatif, keberadaan BNPP mencerminkan kesadaran akan pentingnya tata kelola terpadu di wilayaj yang menjadi etalase kedaulatan negara. Namun, dalam praktiknya, kelembagaan ini masih belum memiliki daya dorong yang cukup kuat, baik secara struktural maupun operasional. Tidak adanya undang-undang sebagai payung hukum utama menjadikan BNPP tak lebih dari “coordinator tanpa taji”, yang keberadaannya kerap diabaikan oleh instansi lain.
Alih-alih menjadi pusat integrasi kebijakan, tata kelola perbatasan justru terjebak dalam logika sektoral. Kementerian dan lembaga menjalankan programnya masing-masing tanpa sinkronisasi. TNI dan Polri kerrang bersilang peran di lapangan, pemerintah daerah bergerak dengan arah kebijakan yang tak selalu sejalan dengan pusat, sementara keberadaan masyarakat adat yang telah lama hidup di wilayah perbatasan nyaris tak mendapat tempat dalam perumusan kebijakan. Wilayah perbatasan akhirnya tak dikelola sebagai satu kesatuan ruang berdaulat, melainkan sebagai ruang yang terfragmentasi oleh ego sektoral dan kepentingan proyek jangka pendek.
Di tingkat pusat, negara tanpak riuh dengan berbagai narasi pembangunan dan penegakan hukum. Namun di tapal batas, suara negara kerap hilang – menyisakan kesunyian kelembagaan dan kekosongan hukum yang nyata. Situasi ini melahirkan paradoks, yakni di satu sisi perbatasan diposisikan sebagai beranda terluar negara yang strategis, namun pada saat yang sama diperlakukan seperti ruang marginal yang tidak menjadi prioritas sinkronisasi kebijakan.
Realitas ini menunjukkan bahwa perbatasan tidak dapat ditangani hanya dengan pendekatan teknokratik dan administratif. Wilayah ini mesti diposisikan sebagai simpul strategis dalam kerangka hukum tata negara, yang menuntut konsistensi antara desain kelembagaan dan prinsip-prinsip supremasi konstitusi. Perbatasan adalah cermin kedaulatan, dan oleh karena itu, membutuhkan arsitektur kebijakan yang terintegrasi, lintas sektoral serta berlandaskan hukum yang kokoh dan partisipatif.
Tanpa reformasi kelembagaan yang mendasar, upaya membangun perbatasan akan terus diliputi kekacauan kewenangan, tumpang tindih peran, dan absennya akuntabilitas. Negara harus berhenti memandang perbatasan sebagai “lahan proyek” semata, dan mulai menjadikannya sebagai ruang politik dan hukum yang memerlukan pengelolaan serius dalam semangat keadilan, integrasi, dan kedaulatan yang utuh.
Editor : U Suryana
Artikel Terkait