Saatnya Menata Ulang
Perbatasan selama ini dipandang sebagai halaman belakang republik – jauh dari pusat, jauh pula dari perhatian. Dalam konstruksi hukum nasional, wilayah perbatasan sering kali hanya muncul sebagai lampiran dari kebijakan sektoral: sedikit diatur oleh hukum pelayaran, sebagian oleh hukum imigrasi, sebagian lagi oleh hukum pertahanan dan keamanan. Padahal, perbatasan bukan sekadar titik geografis, melainkan ruang hidup sosial, budaya, ekonomi, dan geopolitik yang kompleks.
Sudah saatnya negara melakukan reposisi cara pandangnya terhadap wilayah perbatasan. Yang dibutuhkan bukan sekadar revisi regulasi, tetapi desain ulang paradigma tata hukum yang mampu menghadirkan keadilan, keberlanjutan, dan kedaulatan secara utuh. Hukum perbatasan harus keluar dari fungsi administratif yang kaku dan menjelma menjadi alat transformatif yang menjangkau rakyat dan menjaga martabat bangsa.
Setidaknya terdapat lima agenda mendesak yang perlu segera dilakukan. Pertama, membangun rezin hukum perbatasan yang otonom dan holistik. Pengelolaan wilayah perbatasan tidak bisa terus-menerus diposisikan sebagai urusan turunan dari berbagai sektor. Ia harus diatur dalam satu kerangka hukum nasional yang bersifat integratif dan khusus, semacam lex specialis yang memberikan kejelasan kewenangan, otoritas, dan arah kebijakan. Kedua, memperkuat BNPP melalui undang-undang, sebab BNPP saat ini masih berjalan dibawah kerangka peraturan presiden, yang dalam praktiknya sering terjebak dalam tarik-menarik kewenangan antara Kementerian dan lembaga. Sudah saatnya BNPP dikukuhkan sebagai badan otoritatif berbasis undang-undang, agar memiliki daya paksa dan posisi koordinatif yang kuat dalam tata kelola lintas sektor. Ketiga, mendesentralisasi pelayanan hukum dan administrasi publik. Kehadiran negara di perbatasan tidak cukup hanya dibuktikan dengan bendera atau bangunan pos. Yang dibutuhkan masyarakat adalah akses riil terhadap layanan hukum, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Pelayanan publik berbasis hukum harus mendekat ke warga, bukan memaksa warga menembus pusat.
Reformasi tata hukum perbatasan bukan semata kebutuhan birokratis, melainkan panggilan etis dan konstitusional. Hukum harus menjadi jembatan antara pusat dan pinggiran, serta antara negara dan warga. Inilah saatnya hukum tampil bukan sebagai tembok pembatas, tetapi sebagai ruang perjumpaan yang memanusiakan.
Editor : U Suryana
Artikel Terkait