Ketika Hukum Tumpul di Tapal Batas
Wilayah perbatasan seperti Entikong, Skouw, Natuna, hingga Ambalat bukan hanya menyimpan potensi strategis bagi kedaulatan nasional, tetapi juga menampilkan wajah buram penegakan hukum yang belum berdaya. Di wilayah-wilayah inilah negara seharusnya menunjukkan taring hukum yang kuat dan kehadiran institusi yang tangguh. Namun faktanya, penegakan hukum di kawasan perbatasan sering kali tak lebih dari prosedur administratif yang lemah, tidak responsif terhadap kompleksitas realitas lapangan.
Aparat penegak hukum di garis depan berhadapan dengan banyak keterbatasan, seperti infrastruktur minim, logistik terbatas, hingga dualisme komando antara sipil dan militer yang kerap menyulitkan koordinasi. Di sisi lain, yurisdiksi hukum yang tumpang tindih – antara kewenangan kepolisian, TNI, bea cukai, imigrasi, dan aparat pemerintah daerah – menjadikan kawasan perbatasan sebagai ruang hukum yang keruh, penuh celah, dan mudah dieksploitasi.
Pelanggaran hukum pun terjadi secara masif dan berulang, penyelundupan barang, perdagangan manusia, hingga masuknya kapa lasing ke perairan territorial. Negara memang memiliki perangkat hukum yang mamadai, seperti UU 43/2008 tentang Wilayah Negara, UU 17/2008 tentang Pelayaran, KUHP, KUHAP, serta berbagai peraturan sektoral lainnya, namun tanpa kejelasan otoritas, sinergi kelembagaan, dan penguatan kapasitas di lapangan, seluruh perangkat hukum tersebut kehilangan daya operasionalnya.
Masalah ini bukan sekadar kekurangan teknis atau kendala logistik. Melainkan cermin dari tidak hadirnya desain hukum nasional yang responsif dan adaptif terhadap tantangan geopolitik perbatasan. Hukum pidana, hukum laut, hukum imigrasi, dan hukum administrasi negara seolah berjalan masing-masing dalam rel yang berbeda, tanpa orkestrasi kebijakan yang menyatukan arah. Akibatnya, supremasi hukum justru digantikan oleh kekuasaan informal, rente ilegal, dan struktur kuasi-negara yang tumbuh dalam kevakuman otoritas formal.
Editor : U Suryana
Artikel Terkait