Hukum yang Absen di Ujung Republik

Hukum Tak Boleh Mati di Tapal Batas
Ukuran sejati dari negara hukum bukan hanya terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi atau keberadaan lembaga peradilan megah di ibu kota, tetapi diuji di tempat-tempat yang paling jauh dari pusat, yakni di garis-garis perbatasan yang sering dilupakan. Di sanalah, hukum harus menunjukkan wajahnya yang paling manusiawi – bukan sekadar sebagai alat pengatur, tetapi sebagai pelindung martabat dan hak setiap warga negara.
Kedaulatan tidak cukup ditegakkan dengan bendera yang berkibar atau jalan yang membelah hutan. Ia harus menjelma dalam wujud hukum yang adil, hadir, dan berpihak kepada mereka yang hidup di pinggiran republik. Hukum tidak boleh menjadi privilese kota-kota besar, melainkan harus berdenyut juga di desa-desa perbatasan, menyentuh kehidupan rakyat kecil, dan menyuarakan keadilan yang inklusif.
Jika hukum terus absen di wilayah perbatasan, maka sesungguhnya negara sedang membiarkan ketimpangan tumbuh, rasa terbuang menguat, dan kepercayaan terhadap republik ini memudar. Kita tidak sedang menjaga perbatasan bila hukum tak pernah sampai menyapa kehidupan mereka yang tinggal di sana.
Membangun perbatasan bukan semata membangun infrastruktur fisik. Lebih dari itu, ini adalah upaya membangun keberanian politik dan kesadaran konstitusional bahwa setiap jengkal tanah dan setiap insan warga negara – betapapun jauh dari pusat kekuasaan – berhak atas perlindungan, pengakuan, dan keadilan yang sama dan setara. Dan bila hukum gagal hidup di ujung republik, yang sekarat bukan hanya kedaulatan, tetapi nurani republik ini sendiri… Bravo, NKRI harga mati!!
Editor : U Suryana