JAKARTA, iNewsLebak.id - Pelantikan Prof Mohammad Ishom sebagai Rektor Universitas Islam Negeri, UIN Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Banten periode 2025–2029 memicu kontroversi. Keputusan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar dianggap mencederai integritas akademik lantaran Ishom diduga terlibat kasus plagiat.
Ketua Umum Gerakan KAWAN, Kamaludin, menilai pelantikan ini mengancam marwah keilmuan perguruan tinggi Islam. Menurutnya, plagiat merupakan "dosa akademik terbesar". "Bagaimana mungkin seorang rektor yang seharusnya menjadi teladan justru terjerat dugaan penjiplakan karya orang lain?" tegas Kamaludin dalam keterangan tertulis, Selasa (26/8/2025). Ia menambahkan, jika dugaan ini terbukti, Ishom seharusnya diberhentikan dan gelar akademiknya dicabut.
Dugaan plagiat ini mencuat setelah pegiat literasi Banten, Sulaiman Djaya, melaporkan adanya kemiripan antara karya Ishom dengan tulisan Dr. Ayang Utriza Yakin. Dr. Ayang sendiri telah secara terbuka menyatakan karyanya dijiplak dan siap menyajikan bukti.
Menurut Kamaludin, sikap abai Kemenag terhadap persoalan ini bisa berdampak buruk pada reputasi UIN SMH Banten di kancah internasional. Plagiarisme adalah isu yang sangat sensitif di dunia akademik global, dan jika dibiarkan, dapat meruntuhkan akreditasi dan kerja sama internasional UIN.
Kamaludin menyinggung UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mewajibkan dosen menjunjung tinggi integritas akademik. Ia membandingkan kasus ini dengan Rektor UIN Walisongo, Imam Taufiq, yang dicopot karena terbukti plagiat. "Kenapa di UIN SMH Banten, justru plagiator dilantik? Apakah Kemenag menggunakan standar ganda?" ucapnya.
Gerakan KAWAN mendesak Menteri Agama untuk segera meninjau ulang keputusan pelantikan tersebut. Membiarkan Ishom menjabat dianggap sama saja dengan mengirimkan pesan buruk kepada mahasiswa, bahwa manipulasi bisa mengalahkan kejujuran. "Rektor adalah simbol moral. Jika simbol ini rusak, rusak pula generasi yang dibinanya," kata Kamaludin. Ia menuntut agar Prof. Ishom segera dicopot dari jabatannya sampai kasus ini tuntas.
Klarifikasi Prof Mohammad Ishom
Prof Mohammad Ishom dalam klarifikasi berupa pesan tertulis menyampaikan lengkan. Dia menuliskan bahwa pada tahun 2017 Muhammad Ishom mengajukan proposal penelitian hukum tentang materi hukum pidana dalam Naskah Undang undang Banten.
Naskah berasal dari foto copy manuskrip yang tersimpan di Bantenologi. Naskah fotocopy itu lalu digandakan atas ijin pengelola Bantenologi.
Usulan penelitian itu dikabulkan dan mendapat bantuan dari LP2M, yang waktu itu diketuai Wazin dan Sekretaris nya Ayatullah Khumaini.
Rumusan masalahnya adalah Apa isi materi hukum pidana dalam naskah Undang undang Banten dan bagaimana konteks sosial politik yang mendasari Sultan Banten melakukan ijtihad dalam penerapan hukum pidana?
Dikarenakan data naskah ditulis menggunakan aksara Arab berbahasa Jawi, maka terlebih dulu muhammad Ishom melakukan transkrip sekaligus translit ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini sebagainana tertera dalam Bab II (halaman 57-117).
Muhammad Ishom belum melihat secara langsung disertasi Ayang Utriza (2013) yang ditulis menggunakan bahasa Perancis. Apalagi Muhammad Ishom tidak bisa bahasa Perancis.
Muhammad Ishom bisa membaca teks Undang undang Banten yang menggunakan aksara Arab Pegon, sebab terbiasa mengajarkan kitab kitab Melayu Pegon seperti kitab Siyarussalikin karya Abdus Somad Al-Falimbani kepada santrinya di pesantren.
Kebetulan Muhammad Ishom berasal dari suku Jawa sehingga juga paham kandungan naskah Undang-Undang Banten yang berbahasa Jawa.
Logikanya kalau Muhammad Ishom tidak bisa Bahasa Perancis akan tetapi menguasai Arab Pegon, maka tuduhan plagiasi yang ditujukan kepadanya adalah suatu yang mustahil
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait