get app
inews
Aa Text
Read Next : DPRD Lebak akan Optimalkan Pengawasan Melalui REMIK

Menyoal Dualistik Pengawasan

Sabtu, 31 Mei 2025 | 09:01 WIB
header img
Dr. Bachtiar, Pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM - Pemerhati Kepemiluan / foto: istimewa

Namun dalam UU Pilkada, pengaturan mengenai posisi dan fungsi Bawaslu tidak diatur secara sejajar. Tidak terdapat norma eksplisit yang menegaskan bahwa mekanisme pengawasan pilkada tunduk pada sistem pengawasan Bawaslu sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Beberapa ketentuan bahkan masih menggunakan istilah “Panwas” – sebuah nomenklatur warisan yang sevara fungsional dan institusional telah digantikan oleh Bawaslu. Meskipun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 48/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa yang dimaksud Panwas adalah Bawaslu, namun tidak adanya penyelesaian normatif dalam UU Pilkada tetap menyisakan ruang ketidakpastian hukum.

Inkoherensi ini tidak hanya berimplikasi pada problem nomenklatur, tetapi berdampak langsung terhadap legitimasi tindakan hukum Bawaslu. Sebagai contoh, ketika pengawas pemilu di daerah menangani dugaan pelanggaran atau menyelesaikan sengketa pencalonan dalam pilkada, tidak jarang keputusannya dipersoalkan karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Situasi ini menempatkan Bawaslu pada posisi dilematis – di satu sisi dituntut oleh publik untuk bertindak tegas dan profesional, namun di sisi lain tidak sepenuhnya dilindungi oleh kerangka hukum yang kohesif dan eksplisit.

Kondisi ini melahirkan dua konsekuensi serius. Pertama, ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan fungsi pengawasan menyebabkan pengawas pemilu enggan bertindak tegas karena khawatir berbenturan dengan Batasan normatif. Hal ini membuat pengawasan berjalan secara setengah hati, rentan diintervensi, dan kehilangan efektivitas. Kedua, peserta pilkada maupun pemilih kehilangan kepastian hukum yang setara dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Mereka berpotensi dirugikan oleh pelanggaran, namun tidak memperoleh perlindungan hukum maksimal akibat kekosongan atau kaburnya norma pengawasan.

Dalam jangka panjang, ketidakpastian ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap proses demokrasi lokal. Maka dari itu, problem pengawasan pemilu dan pilkada bukan semata persoalan tentang boleh tidaknya Bawaslu mengawasi, melainkan menyangkut legitimasi, efektivitas, dan integritas sistem hukum elektoral itu sendiri. Jika dibiarkan fragmentasi normatif ini akan terus menciptakan ruang “abu-abu hukum” yang mengganggu konsistensi demokrasi dan menghambat Pembangunan sistem pengawasan pemilu yang kuat, transparan, dan akuntabel.

Dualisme Pengawasan

Dualisme pengawasan antara pemilu dan pilkada tidak dapat dipandang semata sebagai persoalan teknis administratif atau tata kerja kelembagaan. Fenomena ini mencerminkan kegagalan yang lebih fundamental, yakni ketidakmampuan membangun sistem hukum pemilu yang konsisten, terintegrasi, dan berkesinambungan. Ketimpangan dalam pengaturan pengawasan antara pemilu dan pilkada menandakan persoalan structural dalam desain tata kelola demokrasi elektoral Indonesia.

Editor : U Suryana

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut