Menyoal Dualistik Pengawasan

Ketiga, standarisasi prosedur dan mekanisme pengawasan yang berlaku lintas pemilu. Norma tentang tata cara pencegahan, penindakan, penanganan pelanggaran, serta penyelesaian sengketa perlu diatur dalam satu sistem prosedural yang konsisten. Hal ini akan menciptakan perlakuan hukum, mencegah disparitas perlakuan hukum terhadap warga negara, serta meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas kelembagaan.
Hal yang perlu digarisbawahi, dualisme pengaturan ini sudah terlalu lama menyisakan ambiguitas yang berdampak langsung terhadap kualitas tata kelola pemilu lokal dan nasional. Karena itu, revisi UU Pemilu harus dimanfaatkan sebagai momentum strategis untuk memperkuat posisi kelembagaan Bawaslu secara sistemik. Substansi revisi hendaknya didasarkan pada prinsip mainstreaming pengawasan dalam kerangka Bawaslu sebagai lembaga nasional, bukan sekadar aktor administratif di tingkat lokal. Dengan pendekatan ini, UU Pemilu baru tidak hanya akan menghapus kekacauan normatif, tetapi juga menjadi bagian dari konsolidasi sistemik terhadap pengawasan demokrasi elektoral.
Refleksi Akhir
Sistem pengawasan yang terfragmentasi adalah antitesis dari demokrasi yang konsisten, karena menciptakan standar ganda, perlakuan yang tidak setara, dan ketidakpastian hukum yang merugikan hak konstitusional warga negara. Dalam bungkai rule of law, kepastian hukum dan kesatuan sistem adalah pilar utama yang menopang legitimasi proses politik dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Demokrasi lokal yang kuat tidak akan pernah terwujud jika hukum yang menjadi pijakan pengawasannya justru membuka celah interpretasi ganda dan perdebatan otoritas antar lembaga.
Dengan kata lain, demokrasi lokal yang kuat tidak bisa dibangun di atas fondasi hukum yang lemah dan tidak pasti. Sebaliknya, kesatuan norma dan struktur dalam pengawasan menjadi syarat utama untuk menjamin keadilan pemilu dalam arti seluas-luasnya. Oleh karena itu, kesatuan norma dan struktur pengawasan bukan semata-mata isu kelembagaan, melainkan syarat utama untuk menjamin keadilan pemilu dalam arti seluas-luasnya, yakni keadilan prosedural, keadilan partisipatif, dan keadilan substantif bagi setiap warga negara.
Sebagai lembaga pengawas pemilu, keberadaan Bawaslu seharusnya tidak dibatasi oleh sekat-sekat normatif yang dibentuk oleh konstruksi undang-undang yang tidak sinkron. Ketika Bawaslu ditempatkan dalam posisi ambigu dalam konteks pilkada, maka yang dipertaruhkan bukan hanya efektivitas kerja kelembagaan, tetapi juga integritas hasil pemilihan dan kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan itu sendiri. Otoritas kelembagaan yang kabur akan berdampak pada ketidakjelasan prosedur, ketidaktegasan penanganan pelanggaran, dan lemahnya perlindungan terhadap hak politik warga negara. Jika serius ingin memperkuat kualitas demokrasi lokal, maka keberanian untuk menyatukan rezim pengawasan pemilu dan pilkada dalam satu sistem yang utuh adalah keharusan konstitusional, bukan pilihan politis semata.
Editor : U Suryana