Menyoal Dualistik Pengawasan

Selain itu, dualisme ini memperumit proses penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa pilkada. Ketidaksinkronan dasar hukum menyebabkan ketidakpastian kewenangan antar satu lembaga dengan lembaga lainnya, sehingga ruang hukum yang kabur (legal uncertainty) menjadi celah yang mudah dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk menghindari akuntabilitas. Dalam banyak kasus, hal ini melemahkan penegakan keadilan pemilu, menciptakan preseden buruk, dan mendelegitimasi kepercayaan publik terhadap sistem pengawasan.
Dengan demikian, integrasi sistem pengawasan pemilu dan pilkada tidak dapat lagi dipandang sebagai agenda teknokratis semata. Ia merupakan imperatif konstitusional sekaligus kebutuhan demokratis untuk memastikan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak terfragmentasi oleh dualisme norma. Pengawasan terhadap seluruh jenis pemilu – baik pemilu legislatif, presiden, maupun pilkada – harus berada dalam satu sistem kelembagaan yang utuh, konsisten, dan berbasis prinsip-prinsip tata kelola demokrasi yang menjamin keadilan elektoral secara menyeluruh.
Menuju Kesatuan Sistem Pengawasan
Mengatasi dualisme pengawasan antara pemilu dan pilkada menuntut pembenahan menyeluruh, terutama dalam kerangka normatif. Reformulasi norma diperlukan untuk mengonsolidasikan prinsip-prinsip pengawasan dalam satu sistem hukum yang terintegral. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat tiga arah reformasi yang mendesak untuk dilakukan.
Pertama, penyeragaman rezim hukum pemilu dan pilkada melalui harmonisasi UU Pemilu dan UU Pilkada. Ketimbang mempertahankan dua undang-undang yang terpisah dengan pendekatan dan struktur norma yang berbeda, semestinya Indonesia bergerak menuju kodifikasi sistem pemilu dalam satu undang-undang pemilu nasional. Dalam satu desain normatif ini, perlu ditegaskan bahwa pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada adalah bagian integral dari sistem kedaulatan rakyat yang tunduk pada satu sistem pengawasan yang sama.
Kedua, penguatan peran kelembagaan Bawaslu sebagai satu-satunya otoritas pengawasan elektoral, baik untuk pemilu maupun pilkada. Dalam hal ini, Bawaslu harus diakui secara eksplisit oleh undang-undang sebagai institusi tunggal yang bertanggung jawab terhadap pengawasan seluruh jenis pemilu, tanpa pembedaan. Dengan demikian, tidak hanya akan menghapus ambiguitas kewenangan, tetapi juga memberikan kejelasan structural dan koordinatif terhadap pengawasan pemilu di semua tingkatan.
Editor : U Suryana