"Waktu itu kita sepakat akan dibentuknya kembali dewan pers independent, namun berjalannya waktu, disinilah letak ketidakpatutan dewan pers independent, sehingga publik dipertontonkan pada sebuah lembaga hebat dan full power. Muatannya begini. Ketika ada aduan sebuah karya jurnalistik, disinilah letak ketidak independenan dewan pers," terangnya.
"Pengadu dan teradu tidak pernah dipertemukan dalam menyelesaikan sengketanya. Bahkan terlihat dewan pers terkesan memberikan sanksi karya jurnalis melanggar kode etik pers, pedoman media siber dan tanpa adanya hak jawab maupun hak koreksi sebelum digali fakta-faktanya, sehingga terkesan adanya berpihakan, hingga akhirnya teradu terjerat KUHP," bebernya.
Persoalan lainnya lanjut Ozzy, dewan pers melupakan dan atau menomor limakan fungsinya yang tertuang di UU Pers itu sendiri, karena lembaga itu di era digitalisasi kerap mengedepankan pedoman Media Siber yang bukan Undang Undang Pokok Pers.
"Di era digitalisasi, media online yang memiliki legalitas hukum itu bukan media siber, akan tetapi ranah spesifikasinya adalah media massa. Jadi tidak tepat jika dewan pers menggunakan pedoman media siber. Itu harus dipahami oleh ketua dewan pers saat ini dan semua pihak, termasuk kepolisian, karena pedoman media siber adalah jebakan keranah UU ITE," ungkapnya.
Doktrinisasi yang tidak baik terhadap pemahaman UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik akan terus mengakar jika tidak dibendung. Lanjut dia, dimana dewan pers harus mampu mengembalikan marwah Pers Indonesia tanpa harus mengeluarkan Peraturan Pelaksana (PP) dewan pers. Hal itu akan menjadi presendent buruk bagi perkembangan Pers di Indonesia.
Editor : U Suryana
Artikel Terkait